Menggali Sejarah Candi Sekitaran Prambanan

Kami memulai pagi dengan mendung, berharap tidak hujan seperti halnya dua hari perjalanan di Jogja kemarin. Kali ini kami menuju area timur Yogyakarta, mencoba menyusuri jejak kisah di balik peninggalan candi-candi di area sekitar Candi Prambanan.

Candi Sambisari

Candi pertama yang kami kunjungi berjarak 12 km dari kota Yogyakarta, berada di Desa Sambisari, Kalasan, Sleman. Hebatnya media sosial, candi-candi kecil di sekitaran kawasan Prambanan sekarang menjadi diminati generasi muda, terutama mencari spot foto instagramable, termasuk saya 😀

Berada di area perkampungan warga, Candi Sambisari tidak punya area parkir. Jadi parkirnya di rumah-rumah penduduk yang sengaja membuka lahan parkir bagi pengunjung.

Tiketnya cukup Rp5.000,- per orang. Murah kannn….

Candi ini berbentuk simetris dan posisinya di bawah permukaan tanah, agaknya candi ini dulu sempat tertimbun tanah sebelum diketemukan di tahun 1966, dipugar kembali di tahun 1986, dan diresmikan di tahun 1987.

Kompleks ini memiliki satu candi utama dan tiga candi pendamping yang tidak utuh di sana sini. Sama halnya dengan Candi Prambanan, Candi Sambisari adalah candi Hindu yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Kalau saja kemudian tidak turun hujan yang begitu intens, saya masih ingin berlama-lama menggali sejarah di sini.

Setelah dua hari sebelumnya kami selalu lolos dari hujan, kali ini kami harus menikmati hujan ini sambil makan batagor di dekat parkiran candi. Hehehe… Sesempurna apapun kita berencana, kalau memang takdirnya tidak berjalan mulus apa mau dikata, dinikmati saja perjalanannya 🙂

Ohya, di sini tidak boleh menerbangkan drone kecuali mendapat ijin dari pengelola kompleks Candi Sambisari, jadi tidak boleh sembarangan ya….

Candi Ratu Boko

Tujuan candi berikutnya setelah hujan reda adalah Candi Ratu Boko, tapi perjalanan kami masih dibayangi dengan awan gelap yang siap tumpah kapan pun. Candi Ratu Boko berjarak 10 km dengan jarak tempuh 20 menit. Kami harus melalui jalan-jalan kecil dan menaiki bukit, karena Candi Ratu Boko terletak di ketinggian 196 meter di atas permukaan laut.

Kalau kita mengunjungi Candi Prambanan biasanya ada penawaran tiket terusan untuk mengunjungi Candi Ratu Boko, dengan menggunakan shuttle bus yang sudah disediakan oleh pengelola. Usut punya usut Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko ini memang memiliki sejarah yang sangat berkaitan, dimana Ratu Boko yang berarti raja bangau adalah ayah dari Loro Jonggrang.

Ratu Boko ternyata bukanlah sebuah candi melainkan sebuah kompleks istana raja, dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan dan dengan adanya parit-parit yang mengelilingi kompleks, mirip pola istana berbenteng. Dan ternyata disebut dengan Kraton Ratu Boko, bukan candi 🙂

Untuk masuk ke kawasan keraton ini dikenakan tiket masuk sebesar 4oribu/orang. Sebelum mulai berkeliling kompleks pastikan melihat peta kawasan terlebih dahulu, karena Ratu Boko ini luas sekali. Dan saya tidak berhasil menyelesaikannya. Gempor. Hehehe….

Dari pintu masuk jalan akan mengarah ke Gapura Ratu Boko. Gapura Ratu Boko ini menjadi highlight dari tempat ini karena banyak pengunjung mengabadikan momen kunjungan mereka di sini, bahkan tempat ini pernah beberapa kali digunakan sebagai prewedding spot. 

Lagi-lagi di sini tidak boleh menerbangkan drone kecuali mendapat ijin dari pihak pengelola.

Setelah melewati gapura kita akan disambut oleh hamparan alun-alun yang luas dengan rumput yang subur dan pohon-pohon besar. Tempat ini cocok sekali sebagai tempat beristirahat setelah dari pintu masuk tadi harus menaiki tangga, berjalan sebentar, dan kembali menaiki tangga di gapura Ratu Boko.

Di sini juga bisa melihat pesawat yang terbang rendah karena akan landing di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta yang jaraknya dekat dengan lokasi Ratu Boko.

Dari alun-alun kami menuju Candi Pembakaran dan Sumur Suci di sebelah kiri dari gapura. Menurut keterangan yang disebutkan, candi pembakaran ini awalnya diyakini sebagai tempat pembakaran atau penyimpanan abu jenazah raja. Tapi setelah diteliti lebih lanjut hanya didapati abu sisa pembakaran kayu bukan sisa pembakaran tulang. Sedangkan Sumur Suci diyakini mengandung tuah, sehingga setiap sehari sebelum perayaan Nyepi air di dalam sumur ini diambil untuk dibawa dalam upacara Tawur Agung di Candi Prambanan.

Setelah itu saya dan suami masih harus menaiki anak tangga lagi menuju Gardu Pandang. Kalau haus, ada beberapa warung penyedia es kelapa muda dan semacamnya di area dekat tangga ke Gardu Pandang.

 

Dari Gardu Pandang kita bisa melihat pemandangan Candi Prambanan di kejauhan, dan kalau cuaca sedang cerah bisa terlihat Gunung Merapi. Kalau dulu mungkin pemandangannya tidak seperti sekarang ya yang penuh dengan gedung-gedung bertingkat.

Menengok kembali view di area Keraton Ratu Boko juga tidak kalah cantiknya. Apalagi gapuranya yang megah.

 

Setelah menuruni Gardu Pandang, kami menuju ke Paseban yaitu sebutan bagi ruang tunggu untuk tamu yang akan menemui raja. Tidak lagi nampak bangunan aslinya seperti apa, karena hal ini dianalogikan dengan istana di waktu sesungguhnya.

 

Sebenarnya masih ada beberapa area lain, seperti pendopo, keputren/kolam, dan goa yang bisa dikunjungi tapi energi saya sudah menyerah. Hehehe. Meskipun mendung, udara panas khas kota Jogja tetap terasa ditambah lagi banyaknya anak tangga yang sudah kami lewati membuat energi terkuras habis. Sedangkan masih ada satu candi lagi yang ingin saya datangi.

Candi Ijo

Mempertimbangkan cuaca yang masih gerimis sepanjang perjalanan dan hari yang sudah beranjak sore, kami tidak mau memaksakan mengunjungi banyak tempat sekaligus. Candi Banyunibo, Candi Kalasan dan Candi Plaosan kami hapus dari rencana kunjungan.

Tujuan berikutnya dan menjadi tujuan terakhir kami adalah Candi Ijo. Candi Ijo rutenya sejalan dengan Tebing Breksi yang sekarang sedang happening. Melewati rute tersebut saat liburan panjang seperti ini kami harus bersabar sedikit karena macetnya lumayan panjang. Bus-bus memadati jalanan yang sempit dan kemacetan baru berakhir ketika sampai di pintu masuk Tebing Breksi. Saya tidak ada niatan ke sana karena tempat itu hanyalah spot foto-foto saja. Kalau mau ke tebing kapur, sepertinya masih bagus ke Bukit Jaddih, Madura 😀

 

Setelah melewati Tebing Breksi, jalanan kembali lengang dan rutenya semakin menanjak. Beberapa jeep sesekali melewati laju sepeda motor kami. Berawal dari Tebing Breksi tersedia jeep untuk keliling ke area-area wisata di sekitar, seperti Candi Ijo dan Candi Banyunibo. Saya masih berharap candi yang letaknya tertinggi di Jogja ini tidak seramai Tebing Breksi karena tertarik berburu sunset view yang katanya terkenal cantik dilihat dari Candi Ijo.

Tapi harapan saya mustahil terwujud. Candi Ijo sesak dengan pengunjung. Hiks, mau masuk kok tapi jadi kehilangan minat begini. Suami melanjutkan laju sepeda motor melewati Candi Ijo sambil menawari saya untuk masuk ke sana sendiri karena dia sudah capek keliling-keliling 😀

Jadilah cuma begini fotonya Candi Ijo 😀

Kadang kala memang terjadi apa yang diharapkan, apa yang direncanakan, tidak terlaksana dengan baik. Sudah menyusun rencana perjalanan sebegitu detil ternyata cuaca atau kondisi tidak mendukung, maka disyukuri saja. Bukan tentang kemana perginya, tapi dengan siapa. Hehehe…. apapun yang terjadi jangan sampai mempengaruhi mood liburan bersama orang terdekat. Yang di luar rencana itu malah yang sering jadi kenangan suatu saat nanti.

Have a good journey,

 

@uphiet_kamilah

6 thoughts on “Menggali Sejarah Candi Sekitaran Prambanan

  1. Oalah baru tau kalo namanya Keraton Ratu Boko bukan Candi Ratu Boko. 2 tahun lalu aku sempet ke sana, sampe sekarang masih keinget sama sunsetnya yang cakep banget. Sayang jam 6 udah disuruh bubar hehe padahal pengin menikmati sunset. Mungkin serem ya kalo di sana malem-malem :’)

  2. Wah di situ candinya banyak banget ya mbak, tahun lalu kami sekeluarga cuma bisa mampir di candi prambanan karena waktunya mepet, itu pun kami sudah senang bukan main, ada kompleks candi tinggi menjulang seperti gedung, salam kenal

Leave a Reply to uphiet Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *