THe RaiLway ChilDren

Judul: The Railway Children (Anak-anak Kereta Api)
Penulis: Edith Nesbit
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Cetakan Juni 2010

“Kurasa setiap orang mau berkawan dengan kita jika kita bersikap bersahabat.” hal.182

Tiga bersaudara – Roberta, Peter, dan Phyllis – tidak pernah menduga kehidupannya yang bahagia dengan ayah dan ibu yang penyayang, segala sesuatu yang tersedia untuk mereka, akan tiba-tiba berubah menjadi kehidupan yang tidak pernah terbayangkan.
Pada suatu malam, tiba-tiba Ayah mereka pergi tanpa mereka tahu kemana. Mendadak mereka sekeluarga (tanpa Ayah) harus pindah ke sebuah tempat terpencil yang jauh dari London. Bukan anak kecil namanya kalau mereka terus menerus bersedih dan memikirkan dengan serius kejadian apa yang terjadi pada keluarga mereka. Dalam waktu singkat ketiga bersaudara itu bisa beradaptasi dengan lingkungan di sekitar Pondok Tiga Cerobong (begitu orang-orang di sana menyebut rumah ketiga bersaudara itu). Mereka mulai akrab dengan stasiun kereta yang dekat dengan tempat tinggal mereka, tidak hanya akrab dengan tempatnya, mereka juga akrab dengan orang-orang yang bekerja di sana, seperti Kepala Stasiun, Pak Perks, Juru Uap, dan masinis.

Banyak hal menarik yang mereka alami, mengenal Pak Tua, penumpang kereta api yang selalu menyambut lambaian tangan mereka dari dalam kereta. Pak Tua yang ternyata adalah orang penting dan banyak memberikan kesan baik kepada mereka. Menyelamatkan bayi dari kebakaran,menghindarkan kereta api dari kecelakaan, memberikan kejutan ulang tahun untuk Pak Perks, bahkan menyelamatkan seorang anak yang sedang terluka.

***

“Segala sesuatu pasti ada akhirnya. Yang penting, kita terus maju.” hal.257

Lagi-lagi saya jatuh cinta pada buku klasik. Dan, lagi-lagi saya jatuh cinta pada novel anak-anak 😀
Novel anak-anak itu seperti buku motivasi, aliran positif dan rasa optimismenya mengalir deras.
Baca saja novel ini…dan kita akan diingatkan bahwa kepolosan anak-anak, semangat pantang menyerah, dan ketulusan untuk berbuat baik pada orang lain seringkali semakin menghilang dari diri kita.

Dari judulnya “The Railway Children”, tadinya saya mengira ini adalah kisah tentang ketiga anak miskin yang tinggal di sekitar rel kereta api, menjadi anak-anak miskin dengan pakaian lusuh dan berjuang untuk kehidupan sehari-hari. Tadinya…tapi dari cover novelnya aja kelihatan kalau anak-anak ini berasal dari keluarga berpendidikan dengan pakaian yang layak.

NGomong-ngomong soal kereta api. Kendaraan satu ini bukan hal baru buat saya. Hampir tiap hari malah bolak-balik pagi dan sore hari naik kendaraan yang bunyinya tut tut tut itu. Selama baca novel ini, saya juga merasa membaca on the spot di tempat kejadian perkara. Maklum novel ini adalah pengusir bosan selama menunggu kereta api maupun selama menikmati perjalanan dari berangkat sampai ke tempat tujuan.

“Tidakkah lebih baik kalau kita bayangkan diri kita sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditulis oleh Tuhan? Kalau Ibu yang menulis cerita, mungkin Ibu akan membuat kesalahan. Tapi kalau Tuhan yang jadi Sang Pengarang, Tuhan tahu bagaimana mengakhiri sebuah cerita dengan sebaik-baiknya – yang terbaik bagi kita semua.” hal. 284

Hampir semua karakter di novel ini tidak bisa tidak untuk kita sukai.Tidak terkecuali ketiga bersaudara. Roberta atau penulis lebih suka memanggilnya Bobbie, si sulung, adalah anak perempuan yang baik budi, penyayang, dan pandai memposisikan diri sebagai kakak. Terlebih bagaimana dia tidak ingin menyakiti hati ibunya dengan mengingat ayah yang “pergi” dan berusaha bergembira dengan kedua adiknya. Peter, satu-satunya anak laki-laki, yang sering berusaha bersikap sok berani demi harga dirinya di hadapan kedua saudara perempuannya. Meskipun sebenarnya Peter memang anak yang pemberani meskipun sedikit keras kepala dan suka mengganggu saudaranya. Sejak tidak ada ayahnya dia juga berusaha bersikap sebagai kepala keluarga 😀
Si bungsu Phyllis, yang menggemaskan meskipun sering ceroboh, seperti tali sepatunya lepas, tersandung, memecahkan gelas, yang semuanya itu dianggapnya sebuah ketidaksengajaan.
Ibu, adalah sosok yang membentuk ketiga karakter anak-anaknya (meskipun mungkin Ayahnya juga begitu). Dari ibu, anak-anak itu mewarisi karakter yang kuat, suka menolong, penyayang, dan berbagai sifat baik lainnya.

Saya menyukai gaya bercerita Edith Nesbit yang seringkali melontarkan pendapat pribadinya yang menggelitik di antara ceritanya, seperti ketika dia akhirnya menyebut Roberta hanya dengan Bobbie saja. PEmbentukan karakter ketiga bersaudara itu yang terkesan alami dengan kepolosan dan tingkah mereka yang terkadang nakal. Bukan karakter baik yang tanpa cela seperti malaikat yang tidak sengaja jatuh ke bumi 😀

Meskipun menurut saya novel ini kurang dalam bercerita tentang petualangan ketiga bersaudara dengan kereta api, novel ini tetap bacaan yang tepat untuk keluarga. Dongeng yang bagus untuk diceritakan oleh ayah dan ibu kepada anak-anaknya 🙂

My favorite line:
(diucapkan Peter kepada Phyllis yang tali sepatunya selalu lepas :D)
“Kalau kau menikah kelak, tali sepatumu pasti lepas waktu kau berjalan ke depan altar, dan calon suamimu akan tersandung tali sepatumu, jatuh tersungkur dan hidungnya patah terbentur lantai yang keras. Lalu kau tidak sudi menikah dengan lelaki berhidung patah, dan kau akan jadi perawan tua.”

Happy Reading! 😀

2 thoughts on “THe RaiLway ChilDren

  1. Saya menyukai gaya bercerita Edith Nesbit yang seringkali melontarkan pendapat pribadinya yang menggelitik di antara ceritanya, seperti ketika dia akhirnya menyebut Roberta hanya dengan Bobbie saja.

    hahahaha.. bener bangetss.. gua juga suka gaya penyempilan pendapat pribadi seperti itu, yang bagusnyaa.. ngga kerasa menganggu yaa :)) ini buku walau dibaca ulang dalam usia yang berbeda, tetap aja tetap gua suka 😀

    salam kenal yaa.. lupa juga sih sebelumnya udah pernah mampir apa belum :))

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *