Athirah

19228170 
Judul: Athirah
Penulis: Alberthiene Endah
Penerbit: Noura Books
Tebal: 400 halaman
Cetakan I, Desember 2013
Goodreads Rating: 4.22/5.00

Inilah susahnya menghadapi kaum hawa. Kau tak akan mendapat jawaban ketika kau membutuhkan jawaban. Dan, kau diajak berputar dalam perjalanan rumit ketika kau bahkan tak melihat sesuatu yang rumit.

Jusuf masih berusia sepuluh tahun ketika menyadari ada yang berubah dari Emma, ibunda tercintanya, yang akhir-akhir ini sering gelisah. Kegelisahan Emma diawali oleh perubahan sikap Bapak yang sering berlama-lama mematut diri dan berdandan rapi. Sebagai anak laki-laki tertua, Jusuf menangkap sinyal waspada yang mengancam keharmonisan keluarganya. Semampunya dia berusaha meredakan kegelisahan Emma.

Kegelisahan Emma terbukti, Bapak menikah lagi. Kehidupan di rumah Jusuf seketika berubah. Bapak tidak lagi milik mereka saja. “Bapak akan ada di rumah ini ketika kalian bangun tidur dan akan tidur,” begitu pernyataan Bapak yang dibuktikan selama setahun awal pernikahan kedua beliau. Jusuf kecil melihat sinar mata Emma meredup seiring berjalannya waktu. Ingin rasanya Jusuf kecil mempertanyakan keputusan Bapak. Entah untuk menjaga perasaan Emma atau Jusuf kecil terlalu takut untuk bertanya pada Bapak akan keputusan beliau. Rasa kecewa itu segera tertepis dengan rasa tanggung jawab yang tetap diperlihatkan Bapak.

Boleh orang bilang anak-anak kecil cepat melupakan sedih. Tapi rasa kehilangan adalah sejarah abadi yang mendekam dalam hidup anak-anak yang sadar akan kehilangan itu.

Masa-masa berat dilewati Emma, Jusuf, dan saudara-saudara. Gunjingan orang, rasa kecewa, terlebih apa yang harus dialami Emma. Beberapa kali Emma nekat mendatangi orang pintar untuk mempertanyakan keputusan Bapak. Tindakan yang membuat Jusuf dan saudara-saudaranya kecewa dan juga sedih. Beberapa kali masa kehamilan yang semakin jarang ditemani Bapak, yang semakin sibuk dengan keluarga keduanya. Meskipun selalu, Emma menyunggingkan senyuman di wajah dan bersikap wajar untuk anak-anaknya.

Perlahan waktu berlalu, hati Emma dan anak-anak semakin tabah dan kuat menerima keputusan Bapak. Terlebih Emma, cahaya kehidupan kembali menyala dalam matanya. Emma memutuskan membunuh waktu dan mengalihkan pikiran dengan berbisnis. Bisnis kain tenun dan sutra dipilihnya selain tetap menjalankan bisnis transportasi Cahaya Bone yang diberikan Bapak. Emma seperti menemukan jiwanya ketika bergelut dengan kain tenun dan sutra. Mungkin pengalaman berjuang dari nol dalam berdagang bersama Bapak dulu membuat Emma begitu lihai dalam berdagang. Tidak henti-hentinya tamu membanjiri rumah untuk melihat dan membeli kain tenun yang dipajang Emma.

Ketenteraman ternyata bukan berasal dari apa yang kau lihat, tapi dari apa yang kau rasa. Kau bisa mengheningkan dirimu tak berbuat suatu apa pun dan dunia boleh menganggapmu sebagai orang yang tenang. Namun, bila dalam dirimu bergumul gelombang gelisah yang tak bisa kau redakan, kau bukanlah manusia yang tenteram.

Sementara Jusuf kecil bertambah dewasa melebihi usianya. Sebagai anak lelaki tertua, Jusuf mengambil alih peran Bapak di keluarga sebagai kepala keluarga ketika Bapak tidak ada. Hidup mendampingi Emma mengalami masa-masa berat pernikahannya, mengajarkan Jusuf mengenali hati perempuan lebih dalam.

Jusuf remaja sering menjadi bahan ledekan teman-temannya karena tidak pernah sekalipun terlihat menggandeng perempuan. Untuk ukuran penampilan Jusuf, seharusnya tidaklah sulit mendapatkan seorang teman dekat perempuan. Bahkan beberapa teman perempuan terlihat terang-terangan tertarik pada Jusuf. Tapi perhatian Jusuf yang terkuras pada persoalan keluarga, membuatnya tidak tertarik untuk bermain-main.

Menginjak SMA, Jusuf dibuat jatuh cinta pada pandangan pertama pada sosok adik kelas yang terkenal pendiam. Namanya Mufidah. Tidak mudah Jusuf mendapatkan perhatian Mufidah. Setelah sekali berkenalan yang ditanggapi dingin oleh Mufidah, Jusuf merasa Mufidah selalu menghindarinya. Kunjungan ke rumah pun, Jusuf harus menghadapi tatapan dingin ayah Mufidah.

Betapa indahnya kesabaran bila ia telah benar ada di dalam perasaan, dan bukan serupa perkataan di mulut belaka.

Masa kuliah, membuat Jusuf harus melancarkan segala cara untuk bertemu Mufidah. Kunjungan ke rumah selalu nihil, karena Mufidah tidak ada di rumah. Kesempatan emas didapat Jusuf kala Mufidah kuliah di Universitas Muslim Indonesia. Jusuf mengajukan diri untuk menjadi asisten dosen di kampus Mufidah. Serangkaian pendekatan kembali dilancarkan Jusuf yang kemudian berujung pada penolakan yang menyakitkan karena latar belakang ayah Jusuf yang poligami.

Rasa kecewa sempat membuat Jusuf mundur. Ingin rasanya memprotes pada Bapak tentang apa yang telah dialaminya. Nasihat Emma yang menyejukkan membuat Jusuf kembali berjuang. Allah tidak akan memberikan keindahan yang sempurna tanpa didahului perjalanan yang terjal. Setelah berhasil merebut hati Mufidah, Jusuf dan Mufidah berjuang memperoleh restu dari ayah Mufidah yang menentang hubungan mereka.

Laki-laki memiliki keputusannya sendiri tentang perasaan cinta. Tapi, kesetiaan perempuan adalah pedoman yang berharga sebelum laki-laki membuat keputusan.

Terlepas dari keputusan Bapak untuk berpoligami, bagi Jusuf Bapak adalah guru sekaligus teladan baginya. Sejak kecil Jusuf selalu dilibatkan langsung dalam usaha berdagang Bapak. Bahkan sejak SMP, Jusuf sudah dipercaya mengurusi pembukuan dan ketika SMA Bapak menyerahkan pengelolaan sebuah toko kelontong padanya.

Sepak terjang Bapak dalam berdagang menjadi pelajaran tersendiri bagi Jusuf. Mengikuti teladan Bapak, Jusuf juga banyak terlibat dalam berbagai kegiatan dan organisasi baik di kampus maupun di luar. Hal ini dilakukan untuk mengasah kemampuan berkomunikasi dan menjalin kerjasama dengan orang lain.

Berdagang itu berjuang. Jika kau berdagang dengan cara yang benar, kau secara tak langsung telah belajar makna berjuang.

Rindu ternyata membutuhkan pemecahan. Jarak bisa memaksa seseorang untuk menekan rindu dan mengobatinya dengan cara apa pun yang bisa dilakukan. Tapi ketika kau tahu bahwa jarak itu bisa kau tumpas, maka kau akan keras kepala menerjang rindumu.

Alberthiene Endah memang jagonya kalau menulis buku biografi. Kamu akan dibawa kesedihan yang mendalam ketika melihat punggung lelaki yang dicintai Athirah pergi meninggalkan rumah menuju persinggahan yang lain. Kamu akan terdorong untuk menyemangati ketika perlahan dengan penuh kepercayaan diri Athirah bangkit dan mulai mengalihkan pikirannya untuk menjalankan bisnis. Atau kamu akan ikut sakit hati ketika melihat lelaki yang dicintai muncul dengan perempuan lain di depan mata.

Athirah adalah nama ibunda Jusuf Kalla, sosok yang sekarang menjabat sebagai wakil presiden Indonesia. Novel ini menceritakan kisah yang terinspirasi dari perjalanan hidup ibunda Jusuf Kalla yang harus rela dimadu oleh sang suami serta perjuangan Jusuf dan saudara-saudaranya yang berjuang untuk saling menguatkan dan menjaga keutuhan keluarga.

Kamu juga bisa menjadi Jusuf muda yang harus kuat demi Emma dan saudara-saudaranya, sementara berusaha tetap hormat kepada Bapak. Menjadi Jusuf dewasa yang dengan sabar mengejar cinta seorang perempuan, dimana ayah sang perempuan melarang hubungan mereka karena status Bapak yang menikah lagi.
Penulis juga menceritakan Emma dan Bapak muda yang dijodohkan tapi merasa saling jatuh cinta sejak lama. Kisah Emma yang mendampingi perjuangan Bapak mengembangkan usahanya di Bone yang kemudian meluaskan sayap sampai pindah ke Makassar. Selain itu, kisah Jusuf kecil yang dengan kekeraskepalaannya berhasil membujuk Emma dan Bapak untuk membawa ia dan adik-adiknya untuk ikut naik haji saat usia Jusuf masih 5 tahun.

Selain kisah hidup Athirah, kita akan menemukan unsur budaya Bugis yang begitu kental. Di beberapa bagian kita akan dibuat ngiler dengan makanan-makan Bugis yang enak seperti kue Barongko, ikan kuning, soko nabaloko, dan makanan buatan Emma lainnya. Di bagian lain kita akan menemukan budaya menenun yang begitu kuat di tanah kelahiran Jusuf, Bone.

Duh, novel ini bikin mewek di akhir cerita. Hati yang pasrah dan tidak lagi mempertanyakan. Hati yang kemudian menjadi begitu berdaya, yang akhirnya menang tanpa harus melawan dengan kemarahan.

Melalui novel ini kita bisa melihat pengaruh yang besar dari sosok ibu yang begitu sabar dan kuat dalam diri seorang Jusuf Kalla. Baginya, keluarga adalah sekolah kehidupan yang telah mengajarkan banyak hal dalam proses pendewasaan dirinya.

Ada hal-hal yang telah kita putuskan, kita mulai dengan teguh, dan harus kita hormati risikonya setelah waktu berjalan dan mendatangkan perubahan.

Happy Reading! 🙂 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *