Apa kata yang pertama terlintas ketika menyebut Bromo? Jawabannya tidak jauh-jauh dari sunrise. Terkenal sebagai salah satu tempat terindah menyaksikan sunrise di dunia, kunjungan ke Bromo hampir tidak pernah sepi. Mengorbankan waktu tidur demi berangkat ke puncak Pananjakan (salah satu spot melihat sunrise di kawasan Bromo) untuk menyaksikan terbitnya matahari yang bisa membuat mulut menganga saking takjubnya. Beberapa kali melihat sunrise di sana tapi kekagumannya tidak pernah pudar.
Pemandangan yang bikin terkagum-kagum adalah indahnya hamparan kawasan Bromo yang seperti negeri di atas awan saat matahari mulai bersinar.
Setelah awan-awannya perlahan menghilang, Bromo dan hamparan pasir berbisiknya kembali menyihir dengan kecantikannya yang begitu agung. Mahakarya Pencipta yang tidak akan bisa direplika siapapun. Nah yang terlihat menjulang di kejauhan itu adalah Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Demi memburu sunrise ini kita harus melawan hawa dingin yang menusuk tulang. Jaket berlapis, sarung tangan, masker penutup mulut, dan syal menjadi aksesoris wajib.
Nah, bagaimana kalo ke Bromo saat siang-siang bolong? Hmmm…..
Kali itu saya berkesempatan ke Bromo karena diundang seorang teman yang tinggal di Tosari saat perayaan Karo, yaitu salah satu hari raya keagamaan umat Hindu Tengger. Salah satu tradisi dalam perayaan Karo adalah tradisi silaturahmi di setiap rumah. Meskipun bukan beragama Hindu, teman saya ikut menghormati dengan cara membuka pintu rumahnya untuk tamu. Di setiap rumah yang kita singgahi, kita diwajibkan untuk makan dan minum. Saya cukup ke rumah teman saya saja, banyak makanan dan kenyaaaaang.
Setelah sangat kenyang sekali, kami serombongan melanjutkan perjalanan ke Bromo. Kepalang tanggung sudah di Tosari, lanjut ke Bromo sekalian. Jam sudah menunjukkan jam 12 siang ketika kami memulai perjalanan dengan 2 buah jeep sewaan.
Saya cukup memakai cardigan tipis, meskipun dingin tapi sinar matahari membuat hawa sejuknya masih dapat ditoleransi. Kami langsung menuju area pasir berbisik.
Beberapa jeep terlihat di kejauhan. Satu aksesoris yang lupa saya bawa adalah masker. Yup, kali ini bukan untuk mengusir hawa dingin tapi untuk mencegah pasir masuk ke mulut. Hehehe…. Lumayan berangin ya, jadi jangan kaget kalo pulang-pulang muka dekil dengan debu pasir menempel di muka.
Bagi yang bosan dengan dongeng saya tentang The Lord of the Rings versi Bromo, mari kita berandai-andai tentang Daya dalam Pasir Berbisik, karena pasirnya berbisik sekaliiii. Plis jangan muntah liat Dian Sastro versi KW 🙁
Setelah puas menikmati hamparan pasir berbisik, jeep membawa kami ke arah Kawah Gunung Bromo. Jeep hanya mengantar sampai area parkir, di depan jejeran kuda yang disewakan. Untuk menuju puncak kawah Gunung Bromo kita harus berjalan kaki atau menunggangi kuda sampai kaki gunung.
Saya?
Terbayang belum saya menempuh jarak yang begitu jauh dengan jalan kaki? Ini di lautan pasir lo, bukan jalan beraspal. Apalagi anginnya bisa bikin kita kenyang makan pasir begitu sampai di puncak Bromo. Hehehe…. Jelas saya naik kuda. Sekitar 100rb saya menyewa waktu itu. Hanya dua mobil jeep kami yang terparkir di sana karena memang hari sudah begitu siang. Rata-rata tamu turun ke lautan pasir setelah melihat sunset, itu berarti sebelum siang touring mereka di Bromo sudah berakhir.
Kuda-kuda yang disewakan rata-rata tidak terlalu besar, tapi kuatlah mengangkut saya yang terlalu berat ini. Pemilik kuda tetap mendampingi supaya jalannya kuda tetap terkendali. Dengan pemandangan Gunung Batok di kanan dan Pura Luhur Poten di kiri, kali ini saya bertekad mendaki sampai puncak kawah.
Ternyata jalur ke kawah ini lumayan berliku ya, saya cukup lega dengan keputusan saya naik kuda. Coba kalau tadi sok-sokan jalan bersama teman-teman yang lain, bisa-bisa saya menyerah di tengah jalan. Maklumi saja karena saya jarang workout 😀
Kuda-kuda membawa kami hanya sampai di bawah anak tangga menuju kawah. Lagi-lagi halusinasi saya soal pegunungan Mordor dalam The Lord of the Rings masuk ke dalam pikiran saya. Saya dalam perjalanan menghancurkan Cincin Penguasa sementara mata Sauron tetap mengawasi saya di kejauhan. Wkwkwk….
Kelemahan saya saat naik gunung adalah nafasnya tidak kuat kalau naik-naik gitu apalagi udara dingin dan berangin. Kali ini saya berusaha fokus, boleh dikata lebay karena tangganya cuma setinggi itu, tapi buat saya tetep perjuangan. Hehe… Saya mencuri start karena teman-teman yang lainnya masih menunggu teman-teman yang jalan kaki.
Sekitar 20 menit saya sampai di puncak tangga, pastinya dengan beberapa kali berhenti untuk atur nafas. Dan saya sendirian di puncak. Yeyyy….. teman-teman saya masih jauh di bawah.
Di puncak, suara bising kawah lumayan terdengar. Tidak bisa mengobrol tanpa teriak-teriak. Dan matahari tepat di atas kita, ini jam 2 siang 🙁
Saya penasaran dengan foto-foto yang bertebaran di instagram, menyusuri lereng kawah. Melihatnya saja saya sudah merinding. Tapi kok saya tertarik mencoba. Pagar pembatas hanya di dekat tangga saja, sisanya ya di kanan kawah, di kiri lereng gunung. Lebar jalannya sempit dan miring. Harus konsentrasi saat melewatinya, terlebih kondisi berangin.
Nah, sudah mirip Daya dalam Pasir Berbisik belum?
Saking menikmatinya perjalanan, beramai-ramai, belum lagi cuaca yang begitu cerah, kami pulang dengan keadaan muka sudah penuh debu pasir dan juga kulit gosong karena panas-panasan (tapi dingin) di Bromo.
Sebelum pulang kami mengakhiri perjalanan ke Bukit Cinta. Nah ini adalah salah satu spot untuk bisa menyaksikan sunrise. Tapi berhubung waktu sudah menjelang sore, kami cukup melihat pemandangan Bromo dari kejauhan.
Kalau kalian punya pengalaman apa di Bromo?
Have a great journey!
Belum pernah ke Bromo, tapi membaca ulasan di sini rasanya seperti saya juga berada di sana, menikmati sunrise, berada di ‘lautan’ pasir, naik kuda, sampai bergaya mirip Daya hahaha. Nice trip!
Sudah mirip Daya kan, kak? Hahaha
Jadi pengen ke bromo lagi.. Ngerasain sensasi naik jeep yang aduhai bikin perut puyeng.. Hehe..
Ternyata bromo di siang hari cantik jugaa yaa.. Foto yg naik kuda berasa di luar negeri.. Hehe
Cantik mbak, apalagi kalau cerah. Bonusnya sepi wisatawan. Hehehe…
Sudah beberapa kali ke Bromo, terakhir kali ama si bayi Juli kemaren.
Dingiiiiinnnn hahaha.
Tapi sebenarnya pemandangan lebih bagus pas siang hari, meski ya kita jadi gosong.
Minimal kalau siang dinginnya gak menusuk2 sampai tulang hahaha
Pengen lagi ke Bromo, tapi agak mikir mengingat Bromo sekarang udah mewah banget, masa kita kudu sewa jeep, semacam masuk Bromo itu harganya sejuta hahaha
Mahalnya mbak kalo sejuta ? pas peak season paling yaaa..
ig sampean apa mba wkwk
@uphiet_kamilah 🙂