Judul: Happily Ever After
Penulis: Winna Efendi
Penerbit: GagasMedia
Tebal: 356 halaman
Cetakan Pertama, 2014
Goodreads Rating: 4.02/5.00
Hanya karena sebuah cerita nggak berakhir sesuai keinginan kita, bukan berarti cerita itu nggak bagus. Happily ever after itu masalah persepsi. Kebahagiaan selama-lamanya yang sesungguhnya dirasakan di sini.
Lulu sangat mengagumi ayahnya. Bagi Lulu kecil menjadi seperti ayah adalah impian yang tidak bisa diganti dengan apa pun. Melalui sang ayah, Lulu mengenal dongeng-dongeng indah yang berakhir bahagia. Hingga suatu saat takdir sang ayah sendiri membuatnya tidak percaya akan akhir indah bak negeri dongeng, and they life happily ever after…
Ayah divonis kanker dan entah untuk berapa lama dia akan bertahan. Lulu berhenti percaya akan akhir yang bahagia. Ditambah lagi, kehidupannya di sekolah tidak berlangsung menyenangkan. Lulu kehilangan sahabat baiknya, Karin, yang lebih memilih untuk menjadi pribadi populer dan tidak lagi dikucilkan.
Setiap orang seharusnya bebas menjadi siapa pun yang dia mau. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk melakukan itu.
Rutinitas Lulu berubah semenjak ayah sakit. Rumah sakit menjadi tambahan rutinitas untuk menemani sang ayah menjalani terapi pengobatan untuk penyembuhan penyakitnya. Tapi bukan Lulu kalo tidak bisa menemukan tempat menarik dimanapun dia berada. Untuk mengatasi kebosanannya menunggu ayah yang sedang terapi, Lulu menghabiskan waktu dengan mengeksplorasi tempat-tempat di rumah sakit. Di sebuah kamar di pojok ruangan, Lulu bertemu dengan lelaki berkepala botak bernama Eli. Mereka dengan cepat menjadi cocok dan akrab.
Secara ilmiah, lima belas persen bukan angka yang besar. Tapi, secara spiritual, lima belas persen adalah harapan. Harapan nggak bekerja seperti statistik.
Ayah dan Eli mengajarkan banyak hal pada Lulu bahwa arti kepergian tidak berbanding lurus dengan akhir yang tidak bahagia. Mungkin hanya perlu mengubah sudut pandang.
***
Aku percaya, orang-orang yang ditakdirkan untuk ada di sisi kita, pada akhirnya akan ada bersama kita. Mereka yang ingin pergi nggak bisa dipaksa untuk tinggal.
Another novel by Winna Efendi…
Meskipun menurut saya bukan novel terbaik Winna Efendi, saya suka topik keluarga yang diangkat. Tentang kedekatan ayah dan anak perempuan. Ada yang bilang, Dad is his daughter’s first love, mungkin seperti ini penggambaran hubungan Lulu dan ayahnya.
Yang terbaik dari novel ini adalah bagian dongeng-mendongeng yang dilakukan ayah kepada Lulu ketika kecil. Karena kebiasaan yang mereka ciptakan sejak kecil, ayah dan Lulu seakan menciptakan dunia sendiri yang hanya mereka berdua saja yang miliki, tidak juga untuk ibu. Bahagia membayangkan mereka meletakkan buku di sana-sini di rumah mereka, berbagi kisah dongeng favorit, dan pelajaran hidup yang diajarkan untuk menyemangati Lulu.
Ada yang miss dalam cerita Lulu-Karin-Ezra. Kalau penulis telah menjelaskan alasan Karin membenci Lulu, tidak ada akhir cerita yang jelas antara Lulu dan Ezra. Ketika Eli mengatakan ada sesuatu di balik tatapan Ezra pada Lulu, penulis membiarkan seperti itu adanya tanpa mengungkap ada apa di balik tatapan itu.
Lulu dan Eli? What should I say? Saya lebih suka sosok anak perempuan sebelas tahun yang sok dewasa yang menganggap musik The Beatles itu keren. Yup, saya lebih suka guardiannya si Eli, alias adik perempuan Eli yang bernama Mia.
Kadang-kadang, orang yang pergi akan kembali ke sisi kita. Tapi, nggak jarang juga mereka yang pergi akan hilang selamanya. Dan, yang menyedihkan adalah nggak sempat mengucapkan selamat tinggal.
Happy Reading! 🙂