Lagi musim liburan, semangat berlibur jadi ikutan menular. Kali ini bukannya saya memanfaatkan libur lebaran untuk jalan-jalan, tapi santai di rumah sampai bosennn. Macet dan ramai pasti dimana-mana. Ngomong-ngomong liburan, saya jadi teringat liburan ke Jogja yang saya lakukan awal taun lalu (lama banget ya!) demi memanfaatkan tanggal merah di hari Selasa dan hari Senin kecepitnya. Kebetulan tanggal merahnya pas Maulud Nabi, bayangan saya langsung teringat perayaan Sekaten yang biasanya ramai di Jogja. Yuk capcus deh ke Jogja.
Rencana ke Jogja sudah saya susun tiga bulan sebelumnya. Kali ini saya bertekad menggunakan moda kereta api, sehingga saya mulai memesan tiket kereta Sancaka Sore dan tiket kereta Sancaka Pagi untuk pulangnya tiga bulan sebelumnya secara online. Demi pengiritan, saya memesan tiket dengan harga termurah waktu itu, 105 ribu kelas bisnis dengan tempat duduk 1A 2B di dekat pintu gerbong. Alhamdulillah, malah nyaman istirahat karena jauh dari penumpang lain yang rata-rata berombongan dan ramai ngobrol.
Penginapannya saya pesan seminggu sebelum keberangkatan. Setelah mempertimbangkan keinginan untuk ganti suasana karena tiap liburan ke Jogja selalu menginap di penginapan daerah Malioboro (alasan lain sih karena banyak yang full booked), saya ingin mencicipi kawasan kampung turis, Prawirotaman. Melalui website www.viaviajogja.com/guesthouse saya melakukan booking online dengan memesan Room Maluku seharga 180 ribu per malam.
Setelah menyusun budget dan tempat-tempat yang ingin dikunjungi serta perlengkapan perjalanan, all done! Tinggal menunggu waktu keberangkatan.
Sabtu, 11 Januari 2014
Sepulang kerja, sembari menggendong ransel berat yang sudah saya persiapkan dari rumah, saya menggunakan transportasi umum untuk menuju Stasiun Gubeng dari kantor saya di daerah Waru, Sidoarjo. Bermodalkan bertanya seorang teman yang bekerja di daerah Gubeng, saya nekat menekan bujet dari awal dengan tidak menggunakan taksi, tapi naik angkot saja (Hehehe…). Alhamdulillah satu jam kemudian angkot yang saya tumpangi benar-benar melewati rute Stasiun Gubeng yang saya tuju 😀
Kereta Sancaka Sore berangkat tepat jam 15.45 dari Stasiun Gubeng. Kebiasaan naik kereta ekonomi Penataran tiap harinya, jadi sedikit lebay merasakan naik kelas bisnis. Nagihhhh…
Perubahan rencana perjalanan! Karena teman seperjalanan saya mempunyai saudara yang tinggal di Solo dan setelah mendengar kalau keponakannya itu akan pergi ke Jogja, dipaksalah kami untuk mampir ke Solo.
Jam 19.30 kereta memasuki Stasiun Solobalapan. Beruntungnya setiba di Solo, hujan deras yang sedari Madiun mengguyur sudah reda. Kami disambut Paman dan Tante di depan pintu keluar stasiun. Dengan mengendarai dua motor (teman saya dengan si Paman dan saya dengan Tante yang ternyata asli Solo), kami membelah kota Solo di malam minggu menuju rumah mereka yang berada di belakang GOR Sritex Arena. Wahhh, agak nyesel juga karena ke sana pas gak ada event NBL Indonesia 🙁
Kirain tadinya kami hanya akan disuguhi makan malam trus istirahat karena hari sudah malam. Tapi si Tante malah berkata, “ini kan malam minggu! Ayo jalan-jalan!”
Masih dengan mengendarai dua motor, kami kembali membelah kota Solo di malam hari. Beruntung saya dibonceng Tante yang asli Solo, jadi berasa punya guide selama keliling-keliling kota. Tanpa diminta, Tante sudah menceritakan perkembangan kota Solo akhir-akhir ini. Bukan bermaksud kampanye (sudah lewat juga ya masanya), seperti sebagian besar warga Solo, Tante juga menceritakan kemajuan kota Solo sejak kepemimpinan Bapak Jokowi. Solo menjadi lebih bersih dan tertata.
source: google.com |
Kami melewati Toko Buku Gramedia yang membuat saya terpesona. Bangunannya masih otentik banget, tapi sayang bukan waktunya berkunjung ke toko buku 😀 Setelah diajak berkeliling-keliling melewati Taman Sriwedari, alun-alun, Gedung Bank Indonesia, kami berhenti di depan Pura Mangkunegaran yang sunyi dan gelap. Berbeda dengan Pura Mangkunegaran yang sepi, di seberang jalan malah ramai. Sebuah pasar malam didirikan di sepanjang jalan yang ditutup. Aneka kerajinan dan produk lokal dipamerkan ke pengunjung yang rata-rata adalah warga setempat yang sedang menikmati malam minggu. Setelah puas berkeliling, kami memutuskan menghabiskan malam di Cafe Tiga Tjeret yang terletak persis di depan Pura Mangkunegaran. Kalau malam minggu begini, kami cukup beruntung mendapatkan tempat duduk di lantai dua, persis di pinggir sehingga bisa menikmati kesunyian Pura Mangkunegaran dengan leluasa. Konsep Cafe Tiga Tjeret ini membuat saya terkagum. Meskipun terlihat seperti kafe gaul atau tempat nongkrongnya anak muda, banyak juga keluarga yang memanfaatkan tempat ini untuk menghabiskan malam. Belum lagi benda-benda yang digunakan, untuk meja, kursi, lampu, atau hiasan lain banyak yang menggunakan barang daur ulang. Harga makanan yang ditawarkan pun murah meriah. Sepertinya Solo ini memang terkenal dengan makanannya yang murah meriah ya. Meskipun, panganan yang dijual banyak yang sudah habis, ya sudahlah dinikmati saja apa yang bisa dipesan 😀
Minggu, 12 Januari 2014
Pagi-pagi Paman dan Tante kembali mengajak kami keliling kota Solo. Karena ada car free day, kami terpaksa mencari jalan alternatif supaya bisa cepat sampai ke tujuan. Tujuan kali ini adalah mencari hidangan sarapan khas Solo, Soto Seger Mbok Giyem yang ada di Jalan Bayangkara. Begitu sampai di tujuan, ternyata tempat ini cukup populer terlihat dari begitu banyaknya pengunjung yang sudah mengisi bangku-bangku panjang di dalam rumah makan itu. Beginilah penampakan soto seger yang saya pesan kala itu
Tidak seperti kebanyakan soto, soto seger ini terlihat bening tanpa koya. Dihidangkannya pun dalam mangkok berukuran kecil, jadi buat yang makannya porsi besar bisa pesan beberapa mangkok lagi biar kenyang 😀
Selain menu soto sendiri, di meja juga disediakan aneka macam lauk pauk yang banyak macamnya, mulai dari tempe tepung goreng, sate telur puyuh, tahu bacem, paruh, dan beraneka gorengan lainnya. Tinggal pilih buat menemani santap soto di pagi hari. Selain itu harganya pun murah meriah, dengan hanya kami berempat total harga yang dibayar ke kasir tidak sampai 50 ribu.
Setelah kenyang, Paman dan Tante mengajak kami ke Pasar Gede. Niatnya Tante pengen mencarikan penganan yang bisa dibawa oleh-oleh. Tapi saking niat banget oleh-oleh kripik melinjo dan aneka lainnya bisa memenuhi satu tas sendiri. Padahal kami belum juga menginjakkan jejak di Jogja!!!
To be continued…