Minggu, 12 Januari 2014
Dengan bantuan surat kabar lokal (Solo Pos seingat saya) saya mencari jadwal keberangkatan kereta dari Solo menuju Jogja. Kereta Sriwedari AC menjadi pilihan saya. Lumayan mahal sih, kalau mengingat kereta ini setara dengan komuter Porong-Surabaya yang hanya berharga 2 ribu rupiah. Kereta Sriwedari AC berharga 20 ribu rupiah kala itu (dengar-dengar harganya sekarang turun 10 ribu). Saya berharap pelayanannya sebanding dengan harganya.
Jam 11 siang tepat, kereta Sriwedari AC berangkat dari Stasiun Solobalapan. Kesan pertama saya? WOWWW, ini sih gak bisa disamakan dengan kereta komuter!!! Jauh banget! Kereta Penataran Malang-Surabaya langganan saya jadi jauh kalah kelas 😀
Selain keberangkatannya yang tepat waktu, kondisi gerbongnya membuat saya terpana. Hehe, kereta lokal di Surabaya gak ada yang sekeren ini. Mungkin bisa dibilang kereta ini komuter kelas bisnis kali ya. Dengan tempat duduk 2-2 berhadapan, lorong yang bersih, AC dan bebas asap rokok, dan papan berjalan pemberitahuan yang berfungsi dengan baik. Agak heran juga, kereta keren dan mahal yang hanya digunakan untuk tujuan Solo-Jogja-Solo bisa bertahan seperti ini, padahal penumpangnya masih kalah ramai dengan kereta Penataran yang hanya seharga 4500 rupiah. Sedangkan komuter Porong-Surabaya? Ah, sudahlah.
Mungkin butuh waktu 1 jam lebih untuk mencapai Jogja. Sepanjang perjalanan, lagi-lagi diiringi gerimis. Semoga sampai Jogja nanti tidak gerimis terus. Rencana jalan kaki sampai capek bisa berantakan kalau sampai hujan ikut-ikutan mampir di Jogja. Sayangnya, gerimis juga tergoda untuk menikmati liburan di Jogja. Sepanjang jalan dari Stasiun Tugu sampai Shelter TransJogja Maliboro gerimis terus turun, meskipun intensitasnya mulai berkurang.
Dengan menggunakan TransJogja kami menuju kawasan Prawirotaman yang katanya dikenal sebagai kampung internasional itu. Di ujung gang, ada penunjuk jalan seperti ini:
karena sudah menjatuhkan pilihan pada ViaVia Guesthouse, kami langsung meminta si tukang becak yang kami tumpangi untuk langsung ke tujuan. Karena si tukang becak yang tidak tahu kami diantarkan ke ViaVia Resto yang kami pikir penginapannya juga tak jauh dari sana. Setelah bertanya pada beberapa tukang becak yang sedang ngaso, kami akhirnya berhasil sampai di ViaVia Guesthouse yang ternyata sedikit tersembunyi di dalam sebuah gang kecil.
Kesan pertama pada Prawirotaman, saya langsung menyukai tempat ini. Suasananya tidak terlalu hiruk pikuk seperti Malioboro tapi juga keren dengan berbagai macam resto asing, bakery, gallery, serta fasilitas pendukung seperti ATM, bahkan katanya ada bookshop juga (yang ini belum nemu karena belum menjelajahi Prawirotaman). Sepertinya betah kalau tinggal di sini.
Penginapannya? Beginilah rupa Room Maluku yang saya pesan kala itu:
Yang membuat terkejut adalah ketika pertama kali membuka pintu kamar. Pemandangan yang pertama kali terlihat bukannya tempat tidur, melainkan kamar mandi 😀 Kirain tadi salah ruangan, tapi ternyata memang seperti itu penataannya. Penginapan ini hanya memiliki 7 kamar, yang kebanyakan penghuninya ada turis asing. Cocok sekali untuk yang suka suasana tenang dan kekeluargaan. Selain fasilitas kamar dan sarapan, penginapan ini juga menyediakan fasilitas internet gratis, persewaan sepeda dan pelayanan yang ramah. Tidak heran kalau situs tripadvisor merekomendasikan penginapan ini sebagai tempat yang tepat untuk beristirahat bagi pelancong. Selain itu penginapan ini juga menggunakan bahan-bahan daur ulang, seperti nakasnya yang menggunakan buku-buku bekas dan tempat menyimpan pakaian yang terbuat dari ban bekas.
Tidak berlama-lama kami di penginapan, karena ingin segera menikmati Jogja di sore hari. Berangkatlah kami menuju 0 Kilometer, yang ternyata rameee dan gerimis yang semakin deras 🙁
Kami memutuskan mempercepat langkah dan memasuki deretan kios sepanjang Malioboro, demi terlindung dari gerimis. Malioboro begitu ramai karena ternyata banyak yang memanfaatkannya untuk long weekend juga. Setelah berhasil menahan hasrat untuk kalap belanja di hari pertama kami, kami menuju alun-alun selatan untuk menikmati senja yang mulai beranjak malam. Gerimis sudah berhenti, tapi meninggalkan jejak genangan air di tengah alun-alun, di antara dua pohon beringin yang biasanya dipakai untuk permainan Masangan. Kami merapat di pinggir trotoar, duduk sambil menikmati cilok bakar, dan lalu lalang aneka becak kayuh yang dihiasi lampu warna-warni berkeliling alun-alun.
Malam hari, atas undangan teman satu penginapan yang kebetulan menyewa mobil, kami diajak makan malam bersama di House of Raminten. Rumah makan yang buka 24 jam ini sangat ramai di malam minggu, terlihat dari deretan tempat duduk untuk menunggu kosongnya tempat makan yang berada di dalam. Beruntung teman kami sudah janjian dengan temannya yang lain, jadi kita tidak perlu mengantri lagi.
Senin, 13 Januari 2014
Senin pagi kami mengawali dengan berkunjung ke Taman Sari Yogyakarta. Ini adalah kunjungan pertama saya setelah banyak kali menginjakkan kaki di Jogja 😀
Dengan seorang pemandu, kami diajak berkeliling ke beberapa reruntuhan taman Keraton ini, yang kebetulan terpisah-pisah di antara rumah-rumah penduduk yang berjubelan.
Bangunan pertama yang kami datangi adalah Umbul Binangun, tempat pemandian keluarga Sultan. Bangunan ini terlihat paling terawat di antara reruntuhan yang lain. Reruntuhan yang lain adalah bangunan berbentuk lingkaran yang disebut Sumur Gumuling yang dulu juga difungsikan sebagai masjid.
Bangunan terakhir yang kami kunjungi adalah Gedhong Kenongo. Agaknya ini adalah bagian depan dari Taman Sari. Bangunannya hanya berupa reruntuhan yang sudah tidak berwujud aslinya. Bangunan ini terletak paling tinggi, sehingga kita bisa melihat kawasan lain di sekitarnya, termasuk melihat Sumur Gumuling dari atas.
Di antara mengunjungi satu tempat ke tempat lainnya, kita akan melewati rumah-rumah penduduk yang memanfaatkan tempat itu untuk membuka kios cenderamata atau galeri yang mengundang wisatawan untuk melihat-lihat.
Ada satu lagi tempat di Jogja yang belum benar-benar saya datangi selama beberapa kali kunjungan saya ke Jogja. Yup, KERATON. Hehehe…
Setelah dari Taman Sari, kami melanjutkan wisata sejarah ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena hari libur keraton ini cukup ramai meskipun hari masih begitu pagi. Tidak terlalu mengecewakan ternyata… Tempatnya asri dan kebersihannya terjaga. Katanya sih ini adalah kediaman resmi Sultan, tapi di sebelah mana ya Sultan benar-benar tinggal?
Ada beberapa tempat yang tidak boleh dilewati dan tidak boleh diambil gambarnya, ada juga beberapa pendopo dan beberapa bangunan yang berfungsi sebagai museum.
Setelah lelah berjalan-jalan, perut mulai berontak minta diisi. Padahal tadi pagi sudah diisi sarapan porsi besar di penginapan. Sepertinya kalau sudah di area keraton, tidak lengkap rasanya kalau belum mencicipi gudeg Wijilan. Baiklah, isi tenaga lagi sebelum memulai jalan-jalan tahap dua, yaitu belanja oleh-oleh 😀