Merekam Sejarah di Pura Lingsar dan Taman Narmada

Tujuan wisata ke Lombok bukan hanya melulu ke pantai atau mendaki Gunung Rinjani, sesekali seru juga belajar akulturasi budaya terutama pengaruh agama Hindu (yang dibawa dari Bali) dan agama Islam yang mayoritas dianut suku Sasak.

Kali ini saya menyempatkan diri menyambangi Pura Lingsar dan Taman Narmada di Lombok Barat.

Pura Lingsar

Mendengar nama Pura Lingsar saya langsung teringat salah satu ritual yang selalu diselenggarakan di pura tersebut, yaitu Perang Topat. Perang Topat adalah ritual tahunan yang diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukur atas rejeki yang diberikan Tuhan. Ritual ini melibatkan lintas agama, yaitu Hindu dan Islam, dimana mereka akan saling melempar topat atau ketupat kepada temannya. Konon katanya ketika ritual ini diselenggarakan, wilayah ini dan sekitarnya akan begitu ramai dan jalanan bisa macet saking tumpahnya pengunjung yang mengikuti ritual atau sekedar melihat-lihat saja.

Kalau dulu ada yang mengikuti serial Amazing Race Asia, di dalam salah satu episodenya ada yang mengambil lokasi di Pura Lingsar ini dan disuguhkan Perang Topat pula.

Pura Lingsar memang berada di antara lingkungan dua agama yang begitu kuat. Berada di lingkungan seluas 26 hektar, tempat ini menjadi simbol keharmonisan antar umat beragama, terutama Hindu dan Islam.

Kami tiba di sini saat hari masih pagi, suasana begitu sunyi. Bahkan saya sempat mengira kalau tempat ini masih tutup karena loket tiket juga dalam keadaan kosong. Kami didatangi seseorang yang ternyata adalah petugas di sana. Petugas tersebut sempat mengira kalau suami saya adalah guide yang sedang mengantarkan tamu (yaitu saya). Hal ini sebenarnya sempat beberapa kali terjadi. Hehehe….

 

Masuk ke area Pura Lingsar terdapat kolam yang tidak terlalu terawat di kanan kiri. Beberapa orang melintas untuk membuka lapak jualannya atau beribadat. Sepertinya memang kami datang terlalu pagi 😀

Pura yang dibangun oleh Raja Mataram Anak Agung Ngurah Karang Asem di tahun 1714 ini masih aktif sebagai tempat peribadatan. Sekilas memang suasananya seperti sedang di Bali karena sama-sama tempat ibadah agama Hindu.

Tempatnya begitu luas tapi tidak banyak keterangan yang bisa saya dapat, semisal kolam mata air yang masih digunakan warga sekitar sebagai tempat mandi, yang terletak di dalam kompleks Pura Lingsar.

Tidak sembarangan untuk bisa memasuki pura, ada beberapa aturan yang harus ditaati. Aturan itu antara lain untuk berpakaian sopan dan tidak mengganggu orang yang sedang melakukan upacara ritual. Selain itu ada larangan untuk membawa daging babi, larangan masuk bagi wanita yang sedang menstruasi, dan dilarang menimbulkan suara seperti musik atau televisi kecuali untuk tujuan upacara. Kalau saya cukup di depannya aja 😀

Bahkan suami mengingatkan saya untuk tidak berpegangan tangan selama berada di kompleks pura, supaya tidak ditegur oleh petugas. Jadilah kami seperti guide dan turis seperti kata petugas loket di depan. Hehehe….

Taman Narmada

Taman Narmada dikenal sebagai replika Gunung Rinjani, dimana Raja Mataram Anak Agung Ngurah Karang Asem membuatnya karena sudah tidak kuat lagi mendaki gunung untuk berdoa. Berada di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, nama Narmada diambil dari nama anak sungai Gangga di India yang berarti mata air.

Selain sebagai tempat pemujaan, dahulu tempat ini juga digunakan sebagai tempat peristirahatan raja. Dikenal juga sebagai Istana Musim Kemarau, karena ketika musim kemarau tiba raja akan meninggalkan Puri Ukir Kawi di Cakranegara untuk beristirahat di Taman Narmada.

Dari pintu masuk, berbelok ke sebelah kiri terdapat Halaman Jabalkap yang merupakan halaman terdepan Taman Narmada. Terdapat dua kolam kembar dan dahulu juga terdapat dua buah bangsal yang berfungsi sebagai tempat penjagaan. Area ini tidak banyak dikunjungi wisatawan karena terletak tersembunyi dari pintu masuk yang sekarang digunakan.

Di area depan terdapat Bale Loji yaitu bangunan rumah dengan serambi terbuka yang berfungsi sebagai tempat tinggal raja bersama istri. Masih di area yang sama terdapat Bale Terang, sebuah rumah panggung dimana bagian bawah berfungsi sebagai gudang, dan bagian atas memiliki tiga ruang yaitu kamar permaisuri dari Bali (di sebelah utara dengan lukisan kera di atas pintu), kamar permaisuri dari Lombok (di sebelah selatan dengan lukisan naga di atas pintu), dan bagian tengah yang merupakan ruang terbuka dengan pemandangan menghadap langsung Pura Meru Kelasa serta pemandian para selir.

Terdapat berugak atau balai-balai di depan halaman Pura Kelasa. Pura ini masih berfungsi sebagai tempat pemujaan jadi tidak sembarang orang yang boleh masuk. Kalau bagi saya cukup berada di depannya saja dan duduk beristirahat di balai-balai. Pura Kelasa ini adalah salah satu pura tertua di Lombok dan menjadi replika dari Gunung Rinjani itu sendiri.

Dari atas balai-balai kita bisa menikmati pemandangan sekitar. Kolam pemandian para selir, yang sekarang malah digunakan anak kecil (warga setempat) untuk mandi berada tepat di bawah halaman pura. Di sebelah kiri terdapat pemandian umum yang dulu merupakan pemandian raja, dan telaga seger yang merupakan replika Danau Segara Anak.

Terdapat juga Bale Petirtaan dimana mata airnya berasal dari Gunung Rinjani dan menjadi tempat pertemuan tiga sumber air, yaitu Narmada, Lingsar, dan Suranadi. Air di sini terkenal dipercaya membuat awet muda dan airnya sangat dingin. Saya tidak sempat mampir ke sana karena melihat jajaran anak tangga yang segitu banyak langsung lelah hanya dengan membayangkan. Hehehe….

Sebelum keluar dari area Taman Narmada, saya menyempat membeli beberapa oleh-oleh buat dibawa ke Jawa. Dua lembar kain tenun seharga masing-masing 125 ribu dan dua buah songkok tenun seharga masing-masing 25 ribu. Saya juga mendapat diskon yang lumayan buat jajan es di luar dengan cuaca siang itu. Agaknya dipandu guide asal Lombok aka suami sendiri selalu banyak membantu dalam mendapat harga lebih murah. Hehe…

Setelah dari Pura Lingsar dan Taman Narmada, sebenarnya kami berencana menikmati kuliner sate bulayak yang terkenal banyak terdapat di area Taman Suranadi. Tapi karena hari Jumat membuat kami bergegas pulang karena suami mengejar waktu sholat Jumat di area rumah.

Have a good journey!

 

@uphiet_kamilah

4 thoughts on “Merekam Sejarah di Pura Lingsar dan Taman Narmada

  1. Indahnya keberagaman yang harmonis, semoga keindahan seperti ini tidak dirusak oleh paham-paham yang ingin memaksakan kehendak, menyamakan hal-hal yang berbeda. Pelangi indah karena berbeda, lihatlah keindahan dari perbedaan bukan hanya dari persamaan saja. Semoga tetap terjaga selalu keindahan yang seperti ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *