Agaknya ungkapan woman can’t read a map benar adanya. Cerita perjalanan saya dan suami pada saat di Bantul bisa memperkuat ungkapan tersebut. Hehehe…
Sebenarnya kejadian nyasar bukanlah hal yang baru bagi saya. Malah saya dulu pernah bikin sebuah tulisan di blog berjudul ‘Nyasar’ is my middle name, saking seringnya saya nyasar saat melakukan perjalanan ?
Menuju Hutan Pinus Pengger menjadi pilihan berikutnya setelah mampir makan siang di Sate Klathak Pak Pong. Saya siap menjadi navigator dengan rute yang sudah saya buat di Google maps.
Selama setengah jam kami masih on track, sampai tiba di sebuah persimpangan jalan. Ke kanan menuju Hutan Pinus dan lurus entah menuju mana. Agaknya suami fokus pada navigasi saya dan tidak membaca petunjuk arah. Saya perintahkan untuk lurus mengikuti arahan Google maps karena menurut saya alat navigasi ini memberikan pilihan jalan yang tersingkat dibanding petunjuk arah yang sudah jelas-jelas ditulis di pinggir jalan. Setelah 10 menit perjalanan kami kehilangan jejak di sebuah jembatan, padahal kami mengikuti jalan yang cuma satu-satunya. Setelah saya jujur pada suami dan mengatakan melihat plang nama di persimpangan tadi kami memutuskan kembali ke sana tentu saja dengan rentetan omelan suami. Hahaha…
Ternyata jalan yang ditunjuk Google maps adalah sebuah jalan setapak ?
Dengan arahan-arahan suami untuk tidak fokus pada Google maps dan tetap mengikuti petunjuk arah di jalan, kami kembali melakukan perjalanan. Dan ketidakberuntungan terjadi. Sepeda motor yang kami tumpangi mengalami pecah ban. Akhirnya kami kembali ke rute awal untuk mencari tukang tambal ban.
10-20 menit, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Hutan Pinus Pengger. Arahan suami saya terapkan dengan baik sampai tiba di sebuah perempatan jalan. Kami mulai curiga karena jalanan menurun dan mengarah ke kota, ditambah lagi beberapa bus pariwisata melaju dari arah berlawanan. Sepertinya kami kesasar lagi 😀
Ternyata kami harusnya berbelok saat di perempatan jalan tadi. Hihihi… Setelah kembali ke jalan yang benar, kami pun sampai. Itu pun setelah menembus kemacetan. Karena jalanan menuju Hutan Pinus Pengger ini dipenuhi bus pariwisata dan mobil-mobil pribadi. Kirain lebih sepi daripada Hutan Pinus Mangunan, ternyata sama ramainya.
Hutan Pinus menjadi salah satu obyek wisata favorit di Bantul saat-saat ini. Kenapa? Karena banyak spot foto selfie kekinian. Wkwkwk…. Saya dan suami pun menikmati pemandangan antrian foto selfie dengan senang hati 😀
Ada beberapa spot foto selfie yang disediakan secara cuma-cuma, atau juga membayar seikhlasnya dengan memasukkan uang di dalam kotak yang sudah disediakan. Tapi syaratnya harus antri dan mengikuti peraturan yang diberikan, misalnya hanya boleh maksimal 2-5 orang dalam suatu tempat spot foto karena alasan keamanan dimana spot fotonya berada di ketinggian atau di tepi jurang.
Ada juga spot foto selfie berbayar seperti bergaya di hammock bertingkat. Kru di sana akan membantu pengunjung naik ke tingkat atas hammock dan juga berfoto dengan kamera DSLR yang mereka sediakan.
Keinginan saya simple aja, jalan-jalan di sejuknya udara di hutan pinus sambil menikmati suasana. Kalau foto pun saya hanya ingin berfoto dengan latar belakang pohon-pohon pinus. Kenapa gak ikutan foto-foto di spot selfie? Saya tu gak pede foto diliatin banyak orang, belum lagi foto dengan latar belakang seperti itu udah banyak. Hehehe… Dan saya memang gak begitu suka dengan spot selfie semacam itu, seakan bukan sebuah bukti otentik dari sebuah tempat yang kita kunjungi.
Pulang dari Hutan Pinus, kembali ke Bantul, bukan berarti perjalanan menjadi mulus tanpa masalah. Meskipun alhamdulillah bukan kami yang mengalami. Saya baru tahu kalau jalan menuju Hutan Pinus yang tadi kami lewati salah satunya adalah tanjakan maut Cinomati. Pantas saja banyak petugas dari Basarnas dan BPBD siap siaga di tanjakan sekaligus tikungan tajam tersebut. Beberapa mobil dan motor terhambat lajunya karena tidak kuat menanjak dan harus dibantu oleh petugas. Ternyata tanjakan Cinomati ini memang begitu melegenda.
Ada sekilas pemikiran menggelitik saat menunggu kendaraan yang menuruni tikungan Cinomati. Saya melihat raut bapak yang panik atau suami yang begitu struggle melajukan kendaraan supaya bisa melewati tanjakan dan tikungannya, belum lagi harus sabar menembus kemacetan dan cari parkiran. Dan meluncurlah celetukan saya, “Kasian ya…”
Hayo ngaku yang biasanya senang berburu foto-foto cantik nan instagramable adalah kaum perempuan. Kadang hanya tau lokasi itu bagus tanpa cari tahu lebih lanjut medan seperti apa yang akan dilewati untuk menuju ke sana. Sedangkan pasangan atau suami atau bapak adalah korban keinginan kita yang berjuang kalau melewati jalan seperti tanjakan Cinomati tersebut, demi menyenangkan pasangan dan keluarganya. Hehehe… Di balik foto cantik perempuan ada perjuangan laki-laki yang menyayanginya 😀
Have a good journey!
Pemandangan yang sudah punah di Ibukota. Membaca ulasan ini, saya jadi ingin segera berlibut dan mengunjungi Hutan Pinus ini
Hindari ke sini saat liburan panjang, bisa badmood duluan 😀
Aku kesana tahun lalu dan lihat itu foto yang spot tangan ternyata sampai sekarang pun masih banyak yang memburu spot tersebut dan pada niat ngantri yah haha
Masih banget mbak, demi foto kekinian ?
Hutan pinus oke banget buat foto-foto ya. Tapi saya nggak setuju lho, kalau ada yang bilang cewek nggak bisa baca peta. Saya dan adik cewek saya ngebolang kesana-sini sendiri pakai googlemaps ataupun peta kertas (10 tahun lalu) baik-baik saja lho. Ibu saya yang usianya 60-an juga nggak masalah baca peta. Dia masih ke mana-mana nyetir mobil sendiri.
Sebenarnya bisa mbak, cuma saya gak bisa multitasking. Ngobrol, liat peta, sama liat pemandangan itu sooo multitasking (alasan banget yaa) 😀 😀