Judul: Rantau 1 Muara
Penulis: A.Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Cetakan Kedua Juni 2013
Perjuangan tidak boleh berakhir, bahkan ketika semua tampaknya akan gagal. Sebelum titik darah penghabisan dan peluit panjang, tidak ada kata menyerah.
Man saara ala darbi washala..
Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan
Kisah dimulai dengan kepulangan Alif Fikri dari Kanada sebagai duta muda mewakili Unpad. Kesuksesannya mengarungi separuh dunia, menjadi penulis tetap di sebuah media massa lokal, serta menjadi lulusan terbaik, nampaknya membuat Alif sedikit lengah. Bagi Alif, perusahaan mana pun pasti tidak bisa menolaknya dengan nilai dan latar belakang prestasinya.
Namun Alif lulus di saat yang salah, di saat Indonesia sedang dihantam krisis moneter dan gelombang reformasi. Media yang selama ini memuat tulisannya mendadak berhenti menerima tulisan karya Alif karena alasan ekonomi yang mencekik. Sedangkan berbagai lamaran yang dikirimkan tak kunjung memberi balasan.
Siapa yang menanam, dia akan menuai.
Alif akhirnya diterima di sebuah media massa bergengsi, Derap. Sebuah media massa yang tidak memihak dan berani membela yang benar. Eh, maksudnya media massa yang memihak pada kebenaran 😀
Di sana pula Alif bertemu dengan perempuan bermata indah yang membuatnya penasaran. Wartawan baru di kantornya yang lambat laun berkawan akrab dengan Alif.
Masih ingatkah dengan Randai? Kawan Alif sejak kecil sekaligus pesaing beratnya. Randai yang selalu menyulut api persaingan, dan Alif yang hampir selalu terbakar, atau sebaliknya. Tapi karena persaingan itu pulalah, hampir semua yang mereka inginkan telah tercapai. Persaingan yang juga membakar semangat satu sama lain. Karena pancingan Randai pula, Alif akhirnya kembali terdorong untuk kuliah ke luar negeri, ke Amerika, benua impiannya sejak bersama para sahibul menara dulu.
Pada akhirnya Alif benar-benar kuliah di Amerika. Alif berhasil menjadi salah satu penerima beasiswa bergengsi, Fulbright, di George Washington University. Tapi, kepergian Alif ke Amerika meninggalkan sebuah kisah yang belum dimulai antara dirinya dan Dinara, gadis bermata indah yang juga teman sekantornya di Derap.
Kemudian hidup Alif menjadi begitu mulus. Tapi bukan berarti hal itu kemudian membuatnya menjadi puas dengan pencapaiannya. Apa yang dikejarnya? Apa sebenarnya yang dicarinya?
“Jangan gampang terbuai keamanan dan kemapanan. Hidup itu kadang perlu beradu, bergejolak, bergesekan. Dari kesulitan dan gesekanlah, sebuah pribadi akan terbentuk matang. Banyak profesi di luar sana, usahakanlah untuk memilih yang paling mendewasakan dan yang paling bermanfaat buat sesama. Lalu kalau kalian nanti sudah bekerja, jangan puas jadi pegawai selamanya, tapi punyailah pegawai.”
***
T-A-M-A-T
Apa mau dikata, berakhir sudah kisah penuh semangat dan menginspirasi, trilogi Negeri 5 Menara 😀
Novel yang terinspirasi dari kisah hidup penulisnya sendiri ini membuktikan bahwa anak pondok tidak selamanya hanya berkutat jadi kyai, ustadz, atau hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Ibadah itu bisa dengan pengejaran impian, menuntut ilmu setinggi mungkin, asal bermanfaat untuk diri sendiri maupun banyak orang.
Kalau jodoh bisa disebut mengejar impian, maka itu pula yang dikisahkan penulis dalam buku ini. Berbeda dengan dua novel sebelumnya (karena memang belum waktunya kali ya), kali ini penulis menyuguhkan kisah cinta Alif dengan perempuan yang akhirnya menjadi istri dan partner yang kompak dalam menjalani hidup. Bagi yang masih ingin sendiri, kayaknya cerita di novel ini bisa menjadi nasihat dan bahan pertimbangan untuk mengubah pikiran (ini kenapa jadi merasa tersindir sendiri ya :D)
‘Takkan lari jodoh dikejar.’ Gunung memang tidak akan lari. Tapi jodoh? Dia punya kaki dan keinginan, dia bisa berlari ke sana kemari, kemana dia suka. Bahkan dia bisa hilang, seperti lenyap ditelan Bumi. Atau dia jatuh ke tangan orang lain.
Bagian favorit dari novel ini adalah ketika toko buku tempat Dinara bekerja, Borders, mengijinkan semua karyawan memilih buku sisa display yang menggunung. Alif dan Dinara sampai membawa gerobak dorong untuk mengangkut semua buku yang mereka inginkan. Hwaaahh, yang ini bikin iri setengah matiiiiii… 😀
Tadinya berharap kisah para sahibul menara lainnya sedikit banyak diceritakan, bukan cuma sekedar ketemu dalam sebuah reuni di London yang terasa singkat. Tapi kembali lagi, ini novel biografi begitu kan, ya?
Yang jadi pertanyaan saya…Alif dan Dinara jadi keliling Eropa selama 30 hari gak ya? Kok pesawatnya langsung terbang dari Washington ke Jakarta? Hmm…
Hihihi, ini adalah mantra penyemangat yang saya kutip dari buku kedua trilogi Negeri 5 Menara, yaitu Ranah 3 Warna. Ditulis di selembar kertas kecil yang dilipat kecil dan diselipkan di dompet 😀
Inget banget nulisnya saat menyelesaikan skripsi yang tak kunjung selesai. Tulisan yang sedikit banyak memberikan kekuatan untuk bertahan di saat-saat tidak mengenakkan yang pernah singgah dalam hidup saya.
Semoga novel Rantau 1 Muara ini bukan sebuah “goodbye” dari karya menginspirasi A. Fuadi lainnya, tapi cukuplah sebuah “see you” 😀
Happy Reading! 😀
you can find the book on bukabuku.com