Beberapa hari yang lalu saya akhirnya menepati janji saya untuk menemani seorang sepupu naik kereta dari Bangil ke Blitar. Katanya sih penasaran dengan terowongan yang dilewati di dekat waduk Karangkates sebelum ke Blitar. Estimasi waktu adalah 4 jam perjalanan dan ketika sampai di Blitar langsung balik ke Bangil. Rencananya begitu…tapi takdir berkehendak lain *tsah*
Setelah melewati Malang ternyata sang kereta hobi berhenti-berhenti dan nunggu gantian memakai jalur kereta. Dan akhirnya kami tiba di Blitar satu jam lebih lama. Sukses ketinggalan kereta yang balik ke arah Bangil. Dua jam jeda membuat kami akhirnya membuat rencana dadakan. Berhubung sampai di Blitar rasanya kami tak sopan kalau belum sowan ke makam presiden pertama kita, Bung Karno. Dan ke sanalah kami memutuskan pergi…
Kesan pertama menjejakkan kaki di kota Blitar, semuanya serba merah. Pagar yang mengelilingi alun-alun kota dicat merah, begitu juga dengan beberapa bangunan.Menurut analisa ngawur saya, mungkin…karena kota ini adalah tempat dimakamkannya Bapak dari ibu pendiri partai itu kali ya, atau mungkin karena Blitar terkait erat dengan kisah bersejarah pemberontakan PETA.
Saya jadi teringat plesiran ke Blitar beberapa tahun yang lalu, saya membaca tulisan “Blitar kota patria” dimana-mana. Setelah tanya sana sini dan minta wejangan mbah Google, akhirnya mendapat pencerahan. Dari website resminya kota Blitar, diungkapkan kalau Patria diambil dari kata PETA (Pembela Tanah Air) dan dari susunan kata Tertib, Rapi, Indah, dan Aman. Baiklah sudah mengerti saya 😀
Blitar adalah kota terkecil kedua di Jawa Timur. Kalau dibanding Bangil yang kategorinya cuma sebuah kecamatan, Blitar kota yang sepi, old fashioned, dan tenang. Menurut perbincangan-perbincangan yang pernah saya dengar, pemerintah Blitar melarang adanya pembangunan mall atau waralaba yang berlabel ‘mart-mart’ itu di sana. Dan sepertinya benar sih, kawasan pertokoan kebanyakan dihuni oleh toko-toko lokal. Mungkin itu salah satu cara pemerintah untuk menggerakkan perekonomian rakyat.
Kunjungan saya kala itu sebenarnya tidak termasuk tenang, karena Blitar sedang dilanda angin kencang alias puting beliung. Karena moda transportasi umum yang banyak bertebaran di sana adalah becak, maka kami dengan hati-hati memilih abang tukang becak yang berperawakan tegap yang sepertinya bisa menerjang angin dengan penumpang dua orang dengan jarak 4 kilometer 😀
Ohya, di sana tidak ada angkot juga *sepertinya* karena selain becak hanya terlihat ojek dan andong.
Menyambangi makam bung Karno yang ternyata jaraknya amat sangat lumayan jauh dan berliku (kalau disuruh balik lagi pasti lupa :P) saya lakukan dengan singkat karena tidak mau ketinggalan kereta Penataran berikutnya.
Bangunan itu terlihat berbeda dari terakhir saya berkunjung (pas jaman SD). Melewati pintu masuk, ada patung bung Karno sedang duduk. Patung itu diapit gedung di kanan kirinya yang merupakan perpustakaan. Kalau tidak ingat waktu yang singkat, rasanya saya ingin berlama-lama dan menjelajahi perpustakaannya karena dari luar sepertinya koleksinya lumayan lengkap. Saya langsung menuju makam untuk berziarah sebentar dan duduk beristirahat untuk menikmati angin kencang (bukan sepoi-sepoi).
Hanya setengah jam saya berada di areal pemakaman karena benar-benar takut ketinggalan kereta. Tapi rasa takut itu tiba-tiba lupa ketika melewati alun-alun. Ada deretan penjual es pleret di sana-sini. Karena rasa penasaran kami turun dan ingin mencobanya. Hehehe… Rasanya belum lengkap kan kalo mengunjungi suatu kota tanpa menikmati kuliner khasnya? Sebelumnya tadi sudah sarapan pecel Blitar di bawah pohon sambil deg-degan liat anginnya yang super kencang, sebelum pulang ditutup es pleret khas Blitar. Mungkin lain kali harus mengunjungi Blitar lebih lama lagi karena di sini juga ada Candi Penataran yang tersohor.
Have a nice day 😉
Wisata kuliner is a must! 😀
Eh, beneran banyak merah2nya ya?