Hari terakhir perjalanan kami di Sulawesi Selatan, selepas maghrib kami akan kembali ke Jawa dengan menumpangi KM Dharma Kencana VII, kapal laut yang sama saat kami berangkat seminggu yang lalu.
Rencana hari ini, sepagi mungkin mengunjungi Fort Rotterdam supaya teriknya matahari Makassar ini tidak terlalu terasa.
Fort Rotterdam
Karena berbarengan dengan Agustusan, museum ini mulai pagi telah ramai. Agaknya beberapa instansi pemerintahan menggunakan tempat ini untuk olahraga bersama dan mengadakan lomba Agustusan. Dilengkapi dengan stan jajanan.
Kompleks Fort Rotterdam ini terbagi dalam beberapa bangunan. Beberapa di antaranya berfungsi sebagai museum, beberapa lainnya menjadi perkantoran.
Benteng yang terletak di pesisir barat Kota Makassar ini terlihat masih bagus dan terawat. Sayangnya kami tidak bisa maksimal mengeksplorasi tempat ini, satu di antara 3 bangunan yang difungsikan museum tutup, yaitu Museum La Galigo, yang dulu merupakan kediaman gubernur atau dikenal dengan Rumah Speelman. Sisanya, karena telah menjadi kantor tentu saja kami tidak bisa sembarangan masuk.
Satu museum yang terletak di tengah kompleks, menyimpan sejarah penjajahan yang pernah terjadi di wilayah Sulawesi Selatan. Dan… saya baru tahu kalau Pangeran Diponegoro meninggal dan dimakamkan di Makassar. Pelajaran sejarah saya nampaknya sudah luntur dimakan usia 😀
Sayangnya, hari ini hari terakhir saya di Sulawesi, pencarian makam Pangeran Diponegoro tidak bisa kita lakukan karena masih ada beberapa tempat yang harus kami kunjungi sebelum pulang ke Jawa malam nanti.
Kami berkeliling menikmati arsitektur Fort Rotterdam ini dari luar, menaiki anak tangga memutari bekas area penjagaan benteng dan melihat sekeliling. Kalau sekarang pemandangannya kontras dengan modernisasi kota Makassar, gedung-gedung tinggi di sekitar.
Benteng Somba Opu
Kami menuju Gowa lagi, setelah membaca sejarah di Fort Rotterdam tadi, kami mengetahui bahwa terdapat benteng lainnya yang masih tersisa, meskipun sebagian besar telah hancur, yaitu Benteng Somba Opu.
Benteng peninggalan Kesultanan Gowa ini pernah menjadi salah satu bandar niaga dan jalur transit rempah-rempah terbesar di Asia Tenggara, sekarang tertinggal puing-puing belaka.
Untuk melestarikannya, pemerintah Gowa menambahkan rumah-rumah adat Sulawesi Selatan di area kompleks benteng. Terdapat pula museum yang menyimpan benda bersejarah peninggalan Kesultanan Gowa.
Rammang-Rammang, Maros
Rammang-rammang adalah salah satu tujuan utama kami saat memutuskan ke Sulawesi Selatan, selain ke Tana Toraja dan Tanjung Bira. Tapi, pada saat kami kembali ke Makassar, mood kami untuk meneruskan jalan-jalan agak menurun. Kondisi fisik yang lelah, makanan yang kurang cocok, dan panas matahari yang terik membuat kami ragu kalau harus melakukan perjalanan ke Maros yang berjarak 1,5 jam perjalanan di siang bolong seperti ini.
Bingung harus kemana, karena kami sudah check out dari hotel dan kapal baru akan tiba setelah maghrib, kami memutuskan berhenti di MAMA Toko Kue dan Es Krim. Surprisingly, kue-kue dan es krim yang disajikan di sini enak-enak. Mau nangis, kenapa baru ketemu makanan enak di hari terakhir kami di Makassar 🙁
Dan, kami memutuskan pergi ke Rammang-Rammang 🙂
Kami tiba di Dermaga I Rammang-Rammang menjelang jam 3 sore. Tidak ramai sore itu, mungkin wisatawan lebih memilih pagi hari supaya tidak terlalu terik. Kami menumpangi perahu yang telah antre. Hanya kami berdua di satu perahu, rombongan sebelum kami sudah berangkat ketika kami tiba, setelah itu belum ada lagi pengunjung.
Kami menyusuri sungai, melewati rerimbunan pohon, melewati lorong sempit karst dengan pemandangan perbukitan karst di kejauhan. Cantik banget, kenapa aku tiba-tiba teringat permainan Zuma ya 😀
Rombongan pertama berhenti di Taman Batu, tetapi perahu kami tidak berhenti dan terus melajukan perjalanan. Kata bapak yang melajukan perahu, nanti saja saat pulang biar tidak ramai. Melewati titik pemberhentian berikutnya, yaitu kafe yang dibangun warga, kami langsung menuju tujuan utama, Kampung Berua.
Kampung Berua ditetapkan sebagai Taman Nasional Geopark di tahun 2017. Alamnya dikeliling bebatuan karst yang menjulang tinggi. Terdapat goa karst di desa ini, tapi kami skip karena kami takut terlambat untuk ke pelabuhan.
Rumah-rumah di kampung ini tidak sampai 20 rumah, tersebar di beberapa titik. Kebanyakan masih berupa rumah panggung sederhana. Mata pencaharian penduduknya adalah beternak dan mengelola tambak udang. Namun, jika ingin berlama-lama menikmati kampung ini, ada rumah-rumah yang dijadikan homestay.
Kampung Berua begitu hening dengan angin sepoi-sepoi dan pemandangan menakjubkan. Ingin rasanya berlama-lama. Kalau saja tidak ingat, kita harus pulang!
Sebelum kembali ke dermaga, kami mampir ke Taman Batu. Masih dengan latar belakang bukit karst yang menjulang, tempat ini seakan baru dihujani batu meteor. Bebatuan yang berwarna hitam kontras dengan sawah yang hijau.
Beruntung kami tidak membatalkan perjalanan ke Rammang-Rammang, karena rasa penasaran itu tidak enak. Ya kan… Akhirnya whistlist ke Rammang-Rammang tercentang juga, menyisakan satu whistlist bukit karst lainnya di bagian Indonesia lain yang menunggu untuk dicentang juga 😀
Kami kembali ke Makassar jam 4 sore, kembali makan di restoran cepat saji di Jl. Hasanudin dan belanja cemilan di supermarket sebelum akhirnya menuju pelabuhan untuk pulang….
Lagi-lagi kami bertemu sunset cantik di Makassar…
Terima kasih Sulawesi Selatan, semoga suatu saat kita berjumpa lagi 🙂
Have a good journey,
Jika ada rumah panggung dijadikan homestay Pasti asyik nginal di sana.
iyaa pasti asyik dan betah di sana 😀
saya itu suka banget sama situs-situs geopark. dan melihat foto-foto Kampung Berua dengan bebatuan karst membuat saya membayangkan momen jutaan tahun lalu.
Iyaaa, membayangkan bagaimana jadinya tempat ini jutaan tahun yang lalu yang konon katanya masih berupa lautan 🙂
Luar biasa ya peninggalan bersejarahnya. Menurut saya lebih baik tidak digunakan untuk perkantoran takutnya akan banyak perubahan.
Walah kok nasibnya kurang mujur gitu, udah check out tapi kapal masih abis magrib datengnya.
Saya jadi ngeri ngeri sedap pas mulai naik perahu, kenapa penumpangnya cuma berduaan saja (tapi gpp biar lebih syahdu). Kenapa sepi pengunjung ya pas sore ? Apa mungkin terlalu panas ketika sore hari. Tapi sepanas itu kah?
Betul harusnya memang tidak dipergunakan untuk perkantoran 🙁
Memang jamnya kurang sinkron antara check out dan jadwal kapal, tapi pihak hotel berbaik hati kok untuk dititipi barang2 kami untuk diambil menjelang kedatangan kapal. Cuma orangnya saja yang bingung harus menghabiskan waktu dimana 😀
Udara di Maros cukup terik dan gerah tidak jauh beda dengan Makassar, tapi karena di area yg lumayan banyak pepohonan masih terbantu dengan angin, tapi tetap saja terik. Dan, kalau datang siang hari waktu yg digunakan untuk menjelajah lebih terbatas, karena banyak hal yang bisa dinikmati selain sungai dan kampung berua. Mereka memiliki banyak gua2 karst yg bisa dieksplor
Mbak uphiet, perjalanan kapal laut ke makassar memulai perjalanan dari mana dan butuh waktu berapa jam…? Sepertinya menarik untuk dicoba. Aku belum pernah ke sulawesi. Jadi penasaran dengan pulau ini.
Rammang-rammang kayaknya jadi destinasi yang ga boleh dilewatkan kalau berkunjung ke sulawesi selatan. Rammang-rammang punya keunikan tersenidiri.
Tulisan yang bagus mbak uphiet 🙂
Saya memulai perjalanan dari Surabaya ke Makassar dengan Kapal DLU Dharma Kencana VII. Waktu tempuhnya 36 jam, sama seperti waktu tempuh dari Surabaya ke Labuan Bajo dengan kapal laut juga. Diklaim sebagai salah satu kapal terbesar dan termewah katanya. Coba dicek di situs DLU Ferry, mereka menyediakan banyak kapal besar ke beberapa rute di Indonesia. Pelayanan dan fasilitasnya bagus dan tidak terlalu berdesakan seperti Kapal Pelni.
Rammang-Rammang memang menjadi a must to visit kalau ke Sulawesi Selatan 🙂