Belitung Timur, Laskar Pelangi Story begin…

Pergi di bulan Oktober, dimana cuaca masih kadang suka gak jelas, saya dan seorang teman nothing to lose atas apa yang akan terjadi nanti.

Departure

Berangkat hari Jumat pagi, kami bangun pagi buta dan bergegas menuju bandara. Menumpang NAM Air, kami bertemu dengan serombongan bapak ibu berusia setengah baya yang sedang mengadakan reuni dan liburan bersama ke Belitung. Ramenya luar biasaaaa…. Harapan kami semoga tidak berpapasan dengan rombongan ini waktu di obyek wisata. Hehehe…
Sesampainya di Bandar Udara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan, kami dijemput oleh guide untuk tiga hari ke depan. Karena ini open trip, bayangan kami nanti akan bertemu dengan banyak orang dalam satu rombongan. Ternyata kami hanya berempat, saya, teman saya, dan sepasang ibu-anak, plus guide jadi berlima dalam satu mobil. Yey, ini sih private trip.
Sebelum lanjut ke Belitung Timur, kami mampir ke kedai Mie Atep yang terkenal. Mie kuning dengan kuah dan bakwan udang ditambah emping melinjo menjadi kudapan pertama kami di sini. 
Belitung Timur
Dari sinilah awal mula Belitung kemudian menjadi tempat yang begitu tersohor. Novel Laskar Pelangi yang mendunia, ditambah filmnya yang sukses, membuat banyak orang menjadi ‘ngeh’ dengan Pulau Belitung. Kisah Laskar Pelangi berasal dari Belitung Timur, tempat yang masih begitu sepi dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Bahkan lampu merah bisa dihitung dengan jari.
Tujuan pertama kami adalah Replika Sekolah SD Muhammadiyah Gantong, tempat dimana Ikal dan teman-temannya menuntut ilmu di bawah bimbingan Ibu Muslimah. Sekolah aslinya sudah tidak ada lagi, yang kami kunjungi adalah bekas lokasi syuting film Laskar Pelangi.
Replikas SD Muhammadiyah Gantong

ruang kelas Laskar Pelangi
Setelah berpanas-panas di SD Muhammadiyah Gantong, kami menuju museum sastra yang didirikan sendiri oleh penulis novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata. Kami tiba saat sholat Jumat, alhasil museum tertutup rapat. Jadilah kami berfoto di depannya saja. Dan karena dua teman serombongan tidak ingin menunggu lebih lama, kami pasrah digiring ke obyek wisata selanjutnya, rumah Ahok.
bagian depan Museum Kata Andrea Hirata
Kali ini gantian kami yang tidak turun. Hehehe… Karena kami bukan orang Jakarta dan tidak mengenal sepak terjang Ahok secara langsung, ditambah saat itu cuaca begitu terik, kami memilih berteduh di dalam mobil. Ngademm…
Selain jarang menemukan lampu merah, kita akan menemukan beberapa monumen berupa motor rusak parah yang dipajang di persimpangan jalan (Begitu juga di Belitung Barat). Menurut cerita guide kami, tingkat kecelakaan motor di Belitung sangat tinggi, dan kebanyakan akibat dari balap liar. Monumen itu sengaja dibuat sebagai pengingat akan bahaya mengendarai motor berkecepatan tinggi.
Setelah menyantap makan siang di tempat yang menurut saya adalah gedung paling besar di ibukota Belitung Timur, Manggar, yaitu Rumah Makan Fega, kami melanjutkan perjalanan. Memang sepanjang melintasi tempat-tempat di Belitung Timur, kita akan menemui daerah yang begitu lengang, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Dibanding dengan Tanjung Pandan, ibukota Belitung Barat yang begitu ramai.
Tujuan berikutnya adalah tempat peribadatan, Vihara Dewi Kwan Im, kawasan ini sedang dalam masa renovasi perluasan. Akan tetapi masih bisa dinikmati. Di tempat paling atas dari kawasan ini kita akan menjumpai patung Dewi Kwan Im yang megah, yang kabarnya diimpor langsung dari China. Gak kebayang gimana bawanya ke sini. Seperti halnya vihara pada umumnya, warna merah mendominasi. Yang membuat vihara ini cantik adalah bentuknya yang berundak-undak, sehingga fotoable.

Vihara Dewi Kwan Im


Patung Dewi Kwan Im
Tujuan terakhir kami sebelum kembali ke Tanjung Pandan, adalah Pantai Burung Mandi. Tidak untuk menikmati sunset, karena matahari terbenam di arah berlawanan.
Pantai Burung Mandi
Di pantai ini kita tidak akan menjumpai burung sedang mandi. Hehehe… Disebut Pantai Burung Mandi karena kalau dilihat dari atas, maka lanskap pantai ini menyerupai burung. Kita juga tidak akan menjumpai batu-batu besar yang katanya menjadi ciri khas pantai di Belitung.
Sore menjelang, waktunya kembali ke Belitung Barat. Sepanjang perjalanan kami dihadiahi sunset cantik sampai tiba di Tanjung Pandan. Sebelum diantar ke hotel, kami mampir makan malam dan disuguhi tradisi makan ala Belitung, yaitu Bedulang.
Bedulang, makan khas Belitung. yaitu tradisi makan bersama dalam satu dulang. Dulang adalah sebutan untuk nampan besar yang digunakan sebagai tempat untuk aneka makanan yang disiapkan dalam piring-piring kecil. Satu dulang untuk empat orang. Satu orang paling muda harus menyiapkan untuk yang lebih tua. Yang paling tua harus didahulukan untuk makan.
Bedulang

Rumah makan Wan Bie
Have a good journey!

Follow me on IG @uphiet_kamilah
Follow me on FB Uphiet Kamilah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *