Eits, liburan ke Labuan Bajo sudah berakhir tapi perjalanan menuju pulang masih sangat jauh.
Hari Sabtu kala itu adalah hari terakhir kami di Labuan Bajo, waktunya meninggalkan tempat cantik ini. Kami berencana menyeberang ke Pulau Sumbawa menggunakan KM Cakalang dengan rute Labuan Bajo – Sape.
Setelah mampir sebentar di TPI Kampung Ujung untuk membeli ikan asin sebagai oleh-oleh kami langsung menuju pelabuhan. Sengaja datang 2 jam sebelum kapal berangkat untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan. Benar saja, sesampainya di pelabuhan ternyata tidak bisa beli tiket langsung di sana, harus melalui kantor pos. Akhirnya kami (sekali lagi) memutari jalan di Labuan Bajo. Bosan sekali dengan jalan satu arah ini. Hahaha… kelewat dikit muternya jauhhh.
KMP Cakalang
Pertama masuk kapal ini agak syok karena berbeda dengan KMP Swarna Bahtera. Mungkin karena kapal penyeberangan antar pulau jadi penumpangnya lumayan banyak. Kapal ini sudah standby dari semalam, mungkin juga sudah dibuka untuk penumpang dari pagi. Kami datang setengah jam sebelum berangkat, bangku penumpang sudah banyak yang terisi, bahkan ada yang menggunakan sederet kursi untuk dirinya sendiri. Sementara kalau nyewa kasur busa, tempat untuk menggelar kasurnya pun sudah limited tersisa dekat dengan kamar mandi yang bau pesingnya lumayan tercium. Kami meletakkan begitu saja kasur busa di pojokan dengan barang bawaan kami. Saya duduk menjauh dari kamar mandi sedangkan suami duduk di depan kantin sambil memesan kopi.
Beberapa saat setelah kapal berjalan kursi duduk mulai longgar karena penumpangnya pindah ke kasur busa, lumayanlah saya bisa duduk santai dan berjaga jarak dengan pengunjung lain. Saya duduk dekat jendela kapal, menikmati angin laut dan pemandangan Labuan Bajo yang semakin jauh dan pulau-pulau kecil di kawasan TN Komodo.
Tidak seperti saat menumpangi KMP Swarna Bahtera yang penumpangnya cukup tertib, di kapal ini penumpang merokok sembarangan, membuang sampah tidak pada tempatnya padahal sudah ada tempat sampah disediakan. 6 jam perjalanan saya lalui dengan main game di ponsel, mengobrol bersama suami, dan sesekali berdiri di tepi jendela untuk merasakan angin laut dan pemandangan pulau Komodo yang kami lewati.
Perjalanan Sape – Bima
Sekitar jam 4 sore kami tiba di Sape, daerah paling ujung timur dari Pulau Sumbawa. Pulau Sumbawa terkenal sebagai surganya touring para pengendara sepeda motor, baik sepeda motor biasa macam yang kita bawa atau sepeda motor premium macam Harley Davidson. Hal ini karena kondisi aspal jalannya yang mulus serta lalu lintas yang tidak terlalu padat. Selain itu pemandangan sepanjang jalan juga begitu memukau, kombinasi perbukitan, tepian pantai, dan landscape ala Texas Amerika katanya.
Untuk mengawali touring lintas Sumbawa, tidak afdol rasanya untuk tidak mengabadikan gambar di salah satu spot yang sering dipakai rombongan touring untuk menandai perjalanannya, yaitu Titik OKM Sape. Meskipun sayang spot ini kurang terawat karena dipenuhi vandalisme dimana-mana.
Setelah berhenti untuk sholat dan membeli minum, kami langsung melajukan sepeda motor menuju Bima. Jarak perjalanan sekitar 2 jam. Saya selalu excited ketika tiba di suatu tempat baru yang sebelumnya tidak pernah saya tahu. Sibuk memperhatikan pemandangan, rumah-rumah dan orang-orangnya, para pengendara yang melintas dan saya menemukan satu hal yang mencolok. Hampir 90% sepeda motor tidak memiliki nomor polisi. Dan memang gak ada polisi di jalanannya sihhh…
Rutenya naik turun bukit dengan jalanan yang mulus dan kendaraan yang tidak sepadat di Jawa. Seru melakukan perjalanan saat sore begini, karena rutenya yang naik turun bukit kami melaju sembari menikmati matahari tenggelam sepanjang perjalanan. Di beberapa tempat saya melihat sekelompok anak muda lokal yang sedang berkumpul santai menunggu senja.
Memasuki maghrib, kami pun tiba di Bima. Setelah menentukan tempat menginap, kami mencari makan malam di salah satu lesehan seafood di kawasan Pantai Amahami. Kemudian beristirahat untuk perjalanan panjang keesokan hari.
Bima-Dompu-Sumbawa Besar-Poto Tano
Tepat setelah subuh kami memulai perjalanan, ditandai dengan foto singkat di depan Masjid Terapung Amahami Kota Bima 🙂
Belum satu jam perjalanan, masih di kawasan Kabupaten Bima, perhatian saya tertuju beberapa penjual makanan di sebuah pasar. Karena kami belum sarapan, saya tergoda untuk membeli camilan untuk perjalanan panjang kami hari ini. Kami berhenti di salah satu gerobak camilan dan bingung memilih. Hehehe…
Saya membeli sekotak makanan kecil khas Bima, pangaha sici. Pangaha sici adalah makanan manis yang terbuat dari tepung ketan dan gula merah. Sebenarnya ada yang terbuat dari gula putih, tapi dari awal sudah tertarik dengan yang gula merah. Lumayan untuk bekal makan selama di kapal nanti.
Hampir 2 jam perjalanan, kami tiba di pusat kota Dompu jam 7 pagi. Berkeliling mencari warung makan yang buka di pagi hari. Agak susah ternyata kalau pagi begini suasana masih sepi, kami menuju ke pasar pun tidak terlihat warung makan. Dua kali berputar di dekat kantor bupati Dompu, akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan sembari mencari warung makan yang searah dengan perjalanan. Baru saja keluar dari pusat kota malah menemukan warung makan dengan menu nasi kuning khas Solo. Alhamdulillah, sarapan juga…
Karena kami bukan peserta touring profesional, maafkan kami yang tiap satu jam harus berhenti, turun dari motor, meluruskan tubuh, dan leyeh-leyeh sebentar. Hehehe….
Setelah sarapan di Dompu, sejam kemudian kami berhenti di sebuah tempat bernama Nanga Tumpu. Nanga Tumpu adalah sebuah kelokan tajam di atas bukit yang sering dijadikan spot pemberhentian untuk menikmati pemandangan Teluk Saleh dan pulau-pulau kecilnya di kejauhan.
Dua pemberhentian selanjutnya adalah sebuah warung kopi (masih) di tepian Teluk Saleh dan sebuah indomar*t sesaat sebelum masuk ke kota Sumbawa Besar. Pulau Sumbawa ini memang menawan pemandangannya, dari yang hijau-hijau sampai yang gersang, dari bukit hingga laut. Belum lagi jalanannya yang mulus dan sepi. Kalau mau foto-foto seperti di luar negeri bisa banget. Tapi sayangnya energi kami sudah habis di jalan, belum lagi terik matahari yang panas luar biasa. Kalau saja tidak diburu waktu dan harus sudah kembali ke Jawa di hari Senin, ingin rasanya nambah sehari lagi di Sumbawa biar penasarannya terpuaskan.
Sesampai di Sumbawa Besar sekitar jam 1 siang, kami mampir mengincipi dinginnya lantai masjid di Masjid Agung Nurul Huda, yang bersebelahan dengan Istana Dalam Loka. Setelah sholat duhur, karena Istana Dalam Loka saat weekend tutup, kami langsung mencari makan siang di kawasan Jl. Multatuli. Di sini berjejer stand makanan dengan menu yang hampir semuanya sama, yaitu soto dan sate. Isi energi lagi sebelum lanjut perjalanan 2 jam lagi sebelum sampai di Pelabuhan Poto Tano.
Hasrat ingin foto-foto di tepian jalan Sumbawa terkalahkan oleh terik matahari. Saking teriknya, mata terasa pedih dan butuh bantuan kacamata hitam selama perjalanan. Kaki dan tangan sudah sukses belang karena kami minim persiapan dan tidak ada rencana melakukan perjalanan ini 😀
Sekitar jam 3 sore kami sampai di Poto Tano, salah satu pelabuhan dengan pemandangan cantik. Saking lelahnya saya gak peduli dengan pemandangan cantiknya, ingin segera masuk kapal, turun dari sepeda motor dan duduk santai sambil meluruskan punggung.
Nanti saja lah, di lain waktu saya akan kembali ke Sumbawa untuk menikmati keindahannya 😀
Pelabuhan Poto Tano – Pelabuhan Kayangan
Perjalanan menggunakan kapal laut dari Poto Tano (Sumbawa) menuju Kayangan (Lombok) ditempuh antara 1,5-2 jam tergantung gelombang laut.
Kapalnya tidak terlalu besar, seperti kapal penyeberangan Ketapang – Gilimanuk atau Padangbai – Lembar. Karena tempat untuk rebahan sudah penuh, akhirnya kami duduk di kursi penumpang di dek lantai 2. Menikmati hiburan karaokean dengan semilir angin laut. Tapi lama-lama saya merasakan goyangan kapal yang semakin keras saat kapal berada di tengah-tengah selat Alas. Melihat ke luar, agak ngeri juga dengan gelombang lautnya. Sedangkan perjalanan masih satu jam lagi. Saya mencengkeram erat lengan suami karena sudah ketakutan dengan gelombang lautnya, hiburan dangdutan pun gak bisa membuat saya terhibur. Rasanya pingin cepat-cepat turun.
Suami membaca kepanikan saya dan menjelaskan kondisi gelombang dan jalur yang dipilih oleh nahkoda kapal untuk mengendalikan kapal supaya tidak terbawa gelombang. Dan hal ini adalah hal yang lumrah terjadi dalam penyeberangan Poto Tano – Kayangan. Buktinya, cuma saya yang panik selama perjalanan. Penumpang yang lain tampak menikmati alunan musik tanpa panik seperti saya.Tapi beneran penyeberangan kali ini pingin diskip dan fast forward langsung sampai di Lombok 🙁
Dari Kayangan ke pusat Kota Mataram memakan waktu sekitar 2 jam dan kami tidak beristirahat sama sekali seperti saat di Sumbawa. Sudah gak tahan pingin tiduran di rumah, pingin meluruskan seluruh sendi-sendi karena kebanyakan duduk di atas sepeda motor 😀
***
Kalau disuruh touring lagi, hmm pikir-pikir lagi deh capeknya banget. Meskipun capeknya cuma pas di jalan, kalau sudah di tujuan sih biasa-biasa aja. Mungkin Mataram-Sumbawa Besar aja, gak usah sampai ujung Sumbawa bagian timur sana. Hahaha…
Next time, pinginnya saya sih kalau tujuan jarak jauh roadtrip pakai kendaraan roda empat, biar bisa gantian selonjorannya. Aminin aja deh 😀
Have a good journey,
Wah seru banget ya
Seruu 🙂
Hi mbak Uphiet! Huaa mbak aku baca ini jadi pengen banget touringan di lombok dan sumbawa
Seru banget bacanya~ aku suka banget touring, tapi jarang ada kesempatan untuk bisa yang sejauh ini. Aku bisa ngerasain capeknya mbak dijalan.. kadang orang yang membonceng itu lebih capek dari pada yang nyetir haha
Seriusan aku jadi termotivasi dan semangat untuk touring lagi, jadi kangen setelah baca tulisan mbak ini hehe
Semoga covid cepet kelar, jadi bisa jalan-jalan/touring gini lagi <3
Hi Aqmarina. Benerr seru banget dan jadi pengalaman berharga. Sebenarnya nagih banget mau touring lagi kalau saja gak diburu waktu mungkin bisa lebih dinikmati 🙂